Pintasan.co, MakassarKerusakan hutan secara masif menjadi salah satu penyebab utama terjadinya hujan ekstrem, banjir, dan longsor yang berulang kali melanda berbagai daerah di Sulawesi Selatan setiap tahun.

Hal ini diungkapkan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel pada Kamis, 13 Februari 2024.

Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik Walhi Sulsel, Slamet, menjelaskan bahwa berdasarkan kajian mereka, tingginya angka kehilangan tutupan hutan di Sulsel dipengaruhi oleh beberapa faktor utama.

Faktor-faktor tersebut meliputi masifnya izin pertambangan di kawasan hulu atau hutan, alih fungsi lahan, penebangan liar, dan pembangunan yang tidak terkendali.

Menurut Slamet, data akhir tahun dari Walhi Sulsel mencatat sekitar 362 kejadian bencana di seluruh kabupaten/kota di Sulsel.

Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Sulsel mengalami penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang signifikan.

Dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah kejadian bencana di Sulsel meningkat enam kali lipat, dengan 54 kejadian bencana pada tahun 2014 dan 362 kejadian pada tahun 2024.

Selain itu, Slamet juga menyebutkan bahwa kerugian yang dialami oleh masyarakat Sulsel akibat bencana pada tahun lalu sangat besar, mencapai lebih dari Rp1,95 triliun.

Salah satu penyebab kritisnya kondisi lingkungan di Sulsel adalah terus berkurangnya tutupan hutan. Pada tahun 2023, luas tutupan hutan di Sulsel tercatat hanya sekitar 1.359.039 hektare, atau sekitar 29,70 persen dari luas provinsi.

Dengan angka tutupan hutan yang tinggal di bawah 30 persen, Sulsel dapat dikategorikan sebagai provinsi dengan kondisi lingkungan yang kritis.

Hilangnya tutupan hutan yang masif setiap tahunnya berbanding lurus dengan semakin kritisnya kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) di Sulsel.

Dari 139 DAS yang ada, hanya sekitar 38 DAS yang masih sehat karena memiliki tutupan hutan lebih dari 30 persen, sementara 101 DAS lainnya atau 72,6 persen mengalami kondisi kritis.

Baca Juga :  Hujan Deras Sebabkan Banjir di Barru, Lima Kecamatan Terdampak

Slamet juga menghubungkan kondisi ini dengan kejadian banjir dan longsor yang terjadi di tiga daerah, yaitu Kabupaten Maros, Gowa, dan Kota Makassar, yang melibatkan ribuan keluarga dan belasan kecamatan.

Menurutnya, bencana ini merupakan akumulasi dari kerentanan ekologi yang semakin meningkat setiap tahunnya.

“Selain intensitas hujan dan air pasang yang memperlambat aliran air sungai menuju lepas pantai, secara hidrologi hal ini mengakibatkan meluapnya sungai-sungai di dua DAS, yakni Maros dan Tallo,” kata Slamet.