Pintasan.co, Jakarta – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menegaskan bahwa tarif timbal balik yang dirancang pemerintahannya akan tetap diberlakukan sesuai rencana tanpa adanya penundaan untuk negosiasi lebih lanjut.
Kebijakan ini dijadwalkan mulai berlaku pada Rabu, 9 April 2025, meski mendapat reaksi keras dari beberapa negara mitra dagang AS.
Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Trump menegaskan bahwa kebijakan tarif yang telah ditetapkan tidak akan ditunda, meskipun ada pertanyaan dari jurnalis mengenai kemungkinan penundaan untuk membuka ruang negosiasi.
“Kami sedang membuat kemajuan luar biasa dengan banyak negara,” ujar Trump.
“Negara-negara yang dulu mengambil keuntungan dari AS sekarang mulai meminta negosiasi karena mereka mulai terpukul,” tambah Trump.
Selain mempertahankan kebijakan tarif yang telah direncanakan, Trump juga mengancam akan menerapkan tambahan pajak impor sebesar 50% untuk barang-barang dari Tiongkok jika Beijing tidak mencabut tarif balasan sebesar 34% yang telah diberlakukan terhadap produk AS.
Saat ditanya apakah tarif terhadap mitra dagang AS akan bersifat permanen atau masih bisa dinegosiasikan, Trump memberikan jawaban yang ambigu.
“Keduanya bisa benar,” ujarnya.
“Beberapa tarif bisa bersifat permanen, sementara yang lain masih bisa dinegosiasikan. Ada hal-hal yang kita butuhkan di luar tarif, dan kami akan memastikan AS mendapatkan kesepakatan yang adil dengan setiap negara,” lanjutnya.
Kebijakan tarif yang lebih agresif ini telah menimbulkan ketegangan dalam perdagangan global, dengan banyak negara mulai mengevaluasi kembali hubungan dagangnya dengan Washington.
Sejumlah analis memperingatkan bahwa perang tarif yang berlarut-larut dapat menghambat pertumbuhan ekonomi global dan menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha.
Di sisi lain, negara-negara mitra dagang AS, termasuk Uni Eropa dan Tiongkok, tengah mempertimbangkan langkah balasan untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka masing-masing.
Langkah Trump yang menolak kompromi dalam kebijakan tarif ini menunjukkan bahwa AS tetap berpegang pada strategi proteksionisme ekonomi yang menjadi salah satu pilar utama dalam kebijakan dagangnya.