Pintasan.co, Semarang – Kamis sore(17/04/2025), langit di atas Jalan Pahlawan Semarang perlahan berubah menjadi jingga, meskipun suhu udara semakin panas.

Di depan gerbang megah Polda Jawa Tengah, sekelompok mahasiswa, aktivis, dan jurnalis berkumpul membawa keranda. Di atas keranda tersebut terpasang batu nisan dengan tulisan RIP Demokrasi.

Suara deru kendaraan di jalan itu seakan berhenti sejenak, menyaksikan pemandangan yang tidak biasa: barisan orang-orang yang membawa spanduk dan poster yang mengecam tindakan arogan aparat.

Beberapa di antaranya berjalan kaki dari arah utara, bergabung dalam sebuah longmarch yang terlihat seperti gerombolan semut hitam, bergerak penuh amarah namun tetap tertib, bersatu dengan satu seruan “Hentikan kekerasan!”

Sorak sorai terdengar menyambut kedatangan mereka di depan Polda. Di tengah kerumunan yang padat, ada satu sosok yang menarik perhatian.

Seorang pria berbadan tegap berdiri di depan keranda, mengenakan seragam mirip polisi lengkap dengan pentungan dan kumis tebal yang mengingatkan pada tokoh pewayangan Gatotkaca.

“Saya Polisi! Tapi bukan Polisi Indonesia. Saya Polisi Vrindavan, Polisi India!” serunya lantang, memancing tawa getir dari massa aksi.

Dia adalah Ikhsan, seorang jurnalis yang biasa meliput kejadian-kejadian di Kota Semarang. Pada hari itu, ia memilih untuk tidak hanya membawa kamera atau buku catatan.

Ia tampil sebagai aktor dalam aksi jalanan, memperagakan kembali kekerasan yang dialami oleh seorang pewarta foto di Stasiun Tawang beberapa waktu lalu, yang dilakukan oleh ajudan Kapolri, Ipda Endri Purwa Sefa.

Dengan aksi teatrikal yang penuh sindiran, Ikhsan bersama massa aksi menyampaikan pesan yang jelas: kebebasan pers sedang terancam, profesi jurnalis bukanlah musuh, dan demokrasi tidak boleh mati tanpa adanya perlawanan.

Baca Juga :  Dinsos Sulsel Salurkan 2 Ton Beras untuk Korban Banjir di Makassar

Selain aksi teatrikal, sore itu juga diadakan pembacaan puisi, orasi, dan pemasangan stiker perlawanan di pagar Polda.

Menjelang malam, mereka menyuarakan lima tuntutan: pemecatan aparat yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis, penciptaan ruang aman bagi wartawan, kepatuhan aparat terhadap UU Pers, tanggung jawab Kapolri atas tindakan anak buahnya, serta perlindungan bagi jurnalis korban kekerasan dari perusahaan media.

Iwan Afrianto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang menegaskan bahwa kekerasan terhadap jurnalis bukanlah sekadar kejadian insidental, melainkan fenomena yang bersifat sistemik.

“Data dari AJI Indonesia sejak awal 2025 hingga April, sudah 33 kasus kekerasan tercatat. Tahun 2024 ada 77 kasus. Sejak 2006, lebih dari 1.200 kasus. Dan itu baru yang terlapor,” ujarnya.

Ia juga mengkritik penanganan kasus kekerasan di Semarang yang dianggap tertutup. 

“Minta maaf bukan solusi. Kami minta proses hukum berlanjut. Aparat harus paham kerja jurnalistik, bukan memukul orang yang sedang bekerja,” tegasnya.

Hari menjelang malam. Aksi ditutup dengan simbol perlawanan terakhir yaitu pembakaran keranda. Api menghanguskan replika demokrasi yang mati, tapi nyala semangat mereka tidak padam.