Pintasan.co, Jakarta – Jaringan Aktivis Nusantara, melalui ketua Romadhon Jasn, menyebut pernyataan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) yang menilai Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai yang terburuk sepanjang sejarah Polri sebagai klaim tidak berdasar dan jauh dari semangat kritik konstruktif. Ia menilai, pernyataan itu lebih bersifat emosional daripada analitis.
“Pernyataan itu cenderung menyederhanakan realitas kompleks yang dihadapi institusi Polri. Menilai buruk tanpa pendekatan komprehensif justru mengaburkan kerja-kerja positif yang telah dilakukan,” ujar Romadhon saat ditemui di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Kamis (1/5/2025).
Menurut Romadhon, selama kepemimpinan Jenderal Listyo, terdapat sejumlah langkah strategis yang patut diapresiasi. Di antaranya, peningkatan transparansi penanganan kasus, restrukturisasi internal untuk mempercepat pelayanan publik, hingga penerapan teknologi digital dalam sistem pengawasan dan pelaporan.
“Jangan lupakan fakta bahwa sejumlah kasus besar justru diungkap oleh Polri sendiri dalam semangat bersih-bersih internal. Ini langkah tidak populer, tapi penting. Apakah itu bukan bentuk keberanian institusi di bawah komando Kapolri?” katanya.
Ia juga menyoroti perbaikan dalam layanan publik berbasis teknologi seperti SIM online, SKCK digital, dan kehadiran e-SPKT di berbagai wilayah. Menurutnya, transformasi pelayanan berbasis digital merupakan bukti nyata modernisasi Polri yang tidak banyak dibicarakan publik, apalagi dalam kritik seperti yang dilontarkan ISESS.
Romadhon menilai bahwa kritik semestinya menyasar aspek kebijakan dan kelembagaan, bukan menyerang figur personal secara sepihak. Ia mempertanyakan dasar data dan metodologi yang digunakan ISESS dalam membuat klaim “Kapolri terburuk”.
“Apakah ada indeks pengukuran obyektif? Apakah survei independen menunjukkan tingkat ketidakpercayaan publik melonjak selama kepemimpinan Sigit? Jika tidak, maka pernyataan itu justru bisa menyesatkan opini publik,” ujarnya.
Ia menyebut bahwa kritik tanpa landasan kuat dapat memperlemah semangat reformasi yang tengah dijalankan Polri. Menurutnya, banyak anggota di lapangan yang bekerja keras dengan integritas, dan tak sepantasnya mereka terkena dampak psikologis dari narasi yang merendahkan institusi.
Romadhon juga mengajak publik untuk mengapresiasi pendekatan humanis yang mulai diterapkan Polri dalam beberapa tahun terakhir. Ia menilai kebijakan seperti restoratif justice dalam kasus-kasus kecil menunjukkan arah baru dalam penegakan hukum yang lebih berpihak pada keadilan sosial.
“Reformasi bukanlah proses instan. Tapi kita perlu jujur mengakui, bahwa arah kebijakan sudah jauh membaik dibanding satu dekade lalu,” tegasnya.
Romadhon menyerukan agar kritik terhadap Polri tetap dijaga dalam kerangka objektif dan membangun.
“Kita ingin institusi ini berubah, bukan runtuh. Maka kritik pun harus bertanggung jawab dan proporsional,” pungkasnya.