Pintasan.co, Jakarata – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) antara negara-negara Teluk dan Amerika Serikat yang digelar di Riyadh, Arab Saudi, pada 14 Mei 2025, diwarnai oleh spekulasi besar terkait kemungkinan pengumuman dari Presiden AS Donald Trump mengenai pengakuan resmi atas kedaulatan negara Palestina.

Informasi ini pertama kali dilaporkan oleh seorang diplomat dari kawasan Teluk kepada The Media Line, dan langsung menjadi pusat perhatian menjelang pertemuan Trump dengan para pemimpin negara Teluk.

“Presiden Trump akan menyampaikan deklarasi mengenai pendirian negara Palestina yang diakui secara resmi oleh AS, namun tanpa melibatkan kelompok Hamas dalam struktur pemerintahannya,” ungkap sumber diplomatik tersebut, yang identitasnya dirahasiakan, pada Sabtu, 11 Mei 2025.

Jika pengumuman ini benar-benar terjadi, menurut sumber tersebut, hal itu akan menjadi langkah bersejarah yang berpotensi mengubah dinamika geopolitik di Timur Tengah.

Deklarasi ini juga diyakini bisa memperluas partisipasi negara-negara lain dalam Abraham Accords. Disebutkan pula bahwa negara Palestina yang dimaksud adalah entitas politik yang bebas dari pengaruh Hamas.

Para pengamat mencatat bahwa jika Trump melangkah sejauh itu, ia akan menjadi presiden AS pertama yang secara eksplisit mengakui Palestina sebagai negara berdaulat.

Namun, langkah tersebut diprediksi akan menuai reaksi tajam, baik dari pihak Israel maupun dari kelompok-kelompok Palestina yang menentang pemisahan antara Palestina dan Hamas.

Trump sendiri belum secara langsung mengonfirmasi kabar tersebut. Namun, dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Kanada Mark Carney di Gedung Putih pada 6 Mei lalu, ia menyebut akan menyampaikan “pengumuman yang sangat penting,” yang memicu dugaan bahwa pengakuan negara Palestina bisa menjadi bagian dari agenda tersebut.

Di sisi lain, sejumlah pengamat meragukan bahwa isu Palestina akan menjadi pokok bahasan utama dalam KTT ini. Salah satunya, mantan diplomat Teluk Ahmed Al-Ibrahim, menilai ketidakhadiran Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dan Raja Yordania Abdullah II sebagai indikator bahwa pembahasan tentang Palestina bukanlah prioritas utama.

Baca Juga :  Sidang Akhir Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol Fokus pada Keputusan Darurat Militer

“Saya rasa Palestina bukan fokusnya. Ketidakhadiran Mesir dan Yordania sangat berarti karena jika ada rencana pengakuan terhadap negara Palestina, kehadiran kedua negara itu sangat penting,” ujar Al-Ibrahim.

KTT ini juga mencakup pembahasan kerja sama strategis lainnya, seperti pengembangan energi nuklir sipil antara AS dan Arab Saudi, serta kesepakatan bernilai miliaran dolar di sektor pertahanan, energi, dan kecerdasan buatan. Beberapa pengamat membandingkan hasil potensial KTT ini dengan pertemuan serupa pada 2017 yang menghasilkan komitmen bisnis senilai lebih dari USD 400 miliar.

Setelah pertemuan di Riyadh, Trump dijadwalkan melanjutkan kunjungan ke Uni Emirat Arab dan Qatar—dua negara yang memainkan peran penting dalam lanskap ekonomi kawasan.

Kedua negara tersebut sebelumnya telah menjanjikan investasi besar di Amerika Serikat, dengan UEA berencana menanamkan modal sebesar USD 1 triliun dan Arab Saudi sekitar USD 600 miliar.

Sementara itu, pengamat politik Saudi Ahmed Boushouki berpendapat bahwa fokus utama Trump tampaknya lebih pada aspek ekonomi daripada politik.

“Kemungkinan ini soal kesepakatan besar di Saudi. Trump bahkan menyarankan publik AS untuk membeli saham sebelum pengumuman besar dua hari lagi,” ungkapnya kepada The Media Line.

Arab Saudi juga mengumumkan rencana pembangunan reaktor nuklir pertamanya, dan membuka kompetisi global untuk pelaksana proyek tersebut. Sementara UEA telah lebih dulu mengoperasikan reaktor Barakah, hasil kerja sama dengan perusahaan Korea Selatan.

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Gedung Putih mengenai isu pengakuan negara Palestina. Namun dunia kini menanti apakah Trump benar-benar akan mengambil langkah besar yang bisa mengubah kebijakan luar negeri AS secara drastis di hadapan para pemimpin negara Teluk.