Pintasan.co, Jakarta – Di tengah terus berlangsungnya pengeboman dan penembakan di Gaza, para pekerja kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan pada Kamis (19/6) bahwa sekitar 280.000 liter bahan bakar akhirnya berhasil dipindahkan ke lokasi yang lebih mudah dijangkau di wilayah tersebut.

Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), bahan bakar itu diangkut dari Stasiun Al Tahreer di Rafah ke Deir al Balah.

Ini merupakan pasokan pertama yang masuk dalam 110 hari terakhir. Meski membawa sedikit harapan, OCHA menegaskan bahwa jumlah tersebut masih sangat jauh dari cukup untuk mendukung operasi penyelamatan yang krusial.

“Meski hal ini memberi sedikit waktu tambahan, jumlahnya masih jauh dari cukup. Untuk menjaga agar operasi penyelamatan nyawa dapat terus dilakukan, bahan bakar yang dibeli dari luar harus diizinkan masuk ke Gaza. Jika hal ini tidak segera dilakukan, rumah sakit, ambulans, instalasi desalinasi air laut, jaringan telepon, dan layanan penting penunjang kelangsungan hidup lainnya akan terhenti,” tegas OCHA.

Sementara itu, situasi keamanan di Gaza tetap genting, dengan laporan terus-menerus tentang korban jiwa dan luka-luka, termasuk di antara mereka yang sedang mencari bantuan kemanusiaan.

Dari sisi infrastruktur, OCHA juga menyampaikan bahwa kerusakan pada kabel serat optik telah menyebabkan gangguan komunikasi besar di wilayah tengah dan selatan Gaza selama tiga hari.

Upaya perbaikan terhambat karena pembatasan pergerakan tim teknis, meskipun awalnya sempat disetujui oleh otoritas Israel.

Kondisi pengungsian pun semakin memprihatinkan. Sejak 1 Maret, tak ada bahan penampungan seperti tenda, kayu, atau terpal yang diizinkan masuk ke Gaza.

Sebagian besar warga telah mengungsi berkali-kali sejak perang berlangsung, dan satu dari tiga penduduk harus berpindah tempat lagi sejak gencatan senjata terakhir gagal.

Baca Juga :  Mesir Rancang Rencana Rekonstruksi Gaza Tanpa Memindahkan Warga Palestina

Banyak pengungsi kini bertahan di sekolah-sekolah yang rusak, ruang publik, atau reruntuhan kota, dalam kondisi yang penuh sesak tanpa fasilitas dasar.

OCHA menyatakan telah menyiapkan hampir satu juta perlengkapan darurat, termasuk 50.000 tenda, yang siap dikirim begitu akses dibuka.

Kondisi rumah sakit pun tak kalah genting. Tim PBB bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengunjungi Kompleks Medis Nasser di Khan Younis, yang kini kewalahan menangani pasien.

Dirjen WHO, Dr. Tedros Ghebreyesus, mengungkapkan bahwa rumah sakit tersebut menampung dua kali lipat kapasitas normal, sementara peralatan dan tenaga medis sangat terbatas.

Tenda WHO yang sebelumnya disiapkan untuk layanan anak dan operasi kini berubah menjadi ruang perawatan trauma darurat yang penuh sesak.

Bahan bakar yang terbatas baru bisa dikirimkan ke rumah sakit itu sehari sebelumnya, hanya cukup untuk menjalankan generator darurat.

Kompleks Medis Nasser juga berada di zona yang telah mendapat perintah evakuasi dari Israel pekan lalu.

Meski fasilitas itu sendiri tidak diperintahkan untuk dikosongkan, akses menuju rumah sakit terganggu karena krisis bahan bakar dan ancaman keamanan, sehingga membuat keselamatan pasien dan tenaga medis semakin terancam.