Pintasan.co, TulungagungUpacara adat jamasan Tombak Kiai Upas kembali di gelar di Pendapa Kanjengan, Tulungagung. Upacara digelar sangat sakral. Pusaka kabupaten dicuci dengan sembilan air atau Nawa Tirta.

Prosesi adat diawali dengan kirab Nawa Tirta dari Pendapa Kongas Arum Kusumaning Bangsa menuju Pendapa Kanjengan dli Kelurahan Kepatihan.

Sembilan air itu terdiri dari air sumber sirah, sumber tengah, sumber buntut, air tempuran kali, air kubangan kerbau bule, air kelapa, air sadapan pisang raja, sarapan pohon randu dan air sumur Kanjengan.

“Sembilan air ini menjadi syarat untuk jamasan, sudah menjadi adat sejak lama,” kata juru jamas pusaka Winarto, Sabtu (12/7/2025).

Setelah tiba di Pendapa Kanjengan, nawa tirta kemudian diserahkan kepada Bupati Gatut Sunu Wibowo dan dibawa ke tempat jamasan pusaka.

Pusaka Kiai Upas selanjutnya dikeluarkan dari tempat penyimpanan dengan digotong oleh bupati dan para pejabat lainnya. Prosesi jamasan berlangsung sakral dan hanya boleh dilakukan maupun dilihat oleh laki-laki. Sejumlah wanita yang sempat berada di sekitar lokasi jamasan diminta untuk menyingkir terlebih dahulu.

Secara perlahan-lahan pembungkus kain dan warangka tombak Kiai Upas dilepas. Dengan memanfaatkan sembilan jenis air dan uba rampe lainnya, mata tombak dibersihkan dari debu dan kotoran yang menempel.

Menurut juru jamas, tradisi ini telah berlangsung selama bertahun-tahun setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa. Jamasan pusaka diharapkan akan membawa keberkahan dan keamanan bagi Tulungagung.

“Semoga Tulungagung ayem tentrem, loh jinawi tidak ada halangan apapun,” jelasnya.

Usai upacara adat dilaksanakan, sejumlah masyarakat memperebutkan air jamasan dan berbagai uba rampe, termasuk pisang yang dipasang.

“Ini buat mandi, katanya bisa bikin awet muda,” kata salah satu warga Kelurahan Kepatihan, Musini.

Sementara itu Bupati Tulungagung Gatut Sunu Wibowo mengatakan tradisi jamasan pusaka menjadi salah satu upaya untuk mempertahankan tradisi yang telah ada secara turun temurun. Upacara adat ini sekaligus sebagai simbol pemersatu di antaranya para pejabat maupun masyarakat.

“Semoga masyarakat Tulungagung diberikan kesehatan, ketentraman, damai hidup berdampingan. Semoga perpolitikan dan keamanan di Tulungagung berjalan dengan baik,” kata Gatut.

Pusaka Kiai Upas awalnya merupakan milik Ki Wonoboyo yang kemudian diwariskan kepada anaknya, Ki Ajar Mangir. Pusaka ini kemudian diserahkan kepada Adipati Ngrowo atau saat ini disebut Tulungagung.

Baca Juga :  Karhutla di Sulsel Capai 474 Hektare, Mayoritas Terjadi di Lahan Pertanian

Pusaka Kiai Upas dipercaya memiliki kesaktian. Konon, pada masa perjuangan, pusaka ini mampu menghalau pasukan Belanda masuk ke Tulungagung.