Pintasan.co, Jakarta – Sebagai seorang aktivis perempuan yang terus mendorong hadirnya representasi perempuan dalam ruang-ruang pengambilan kebijakan, saya, Mega Waty, menyayangkan keputusan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi VII DPR RI. Walaupun tetap menghargai langkah apapun yang diambil secara sadar.

Dalam perspektif komunikasi, saya memahami bahwa setiap pernyataan publik senantiasa terbuka untuk ditafsirkan secara beragam. Narasi yang disampaikan seorang tokoh kerap mengalami reduksi ketika dipotong, disebarkan kembali, atau ditempatkan dalam konteks berbeda. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya kesenjangan antara maksud asli pembicara dengan persepsi masyarakat.

Dari sudut pandang psikologi sosial, fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh framing, persepsi kolektif, serta emosi publik dalam merespons isu yang dianggap menyentuh sensitivitas masyarakat. Reaksi keras adalah wajar karena rakyat ingin pemimpinnya benar-benar memahami realitas keseharian mereka. Namun, di saat yang sama, kita juga perlu melihat bahwa kesalahan komunikasi tidak selalu berangkat dari niat merendahkan, melainkan bisa muncul akibat kurangnya kehati-hatian dalam merangkai bahasa di ruang publik, ucap Mega.

Sebagai aktivis perempuan, saya ingin menekankan bahwa kehadiran perempuan di parlemen bukan sekadar angka, tetapi simbol perjuangan untuk membawa suara yang lebih inklusif. Namun, jika memang harus membangun dan “mbak Saras” ingin menjadi simbol perubahan dari perempuan untuk masyarakat, maka hal itu sebaiknya dibuktikan melalui kinerja tulus dan konsisten yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat. Representasi perempuan akan lebih bermakna ketika disertai dedikasi nyata, bukan hanya hadir dalam simbol atau posisi.

Saya juga ingin mengajak masyarakat untuk bersama-sama membangun budaya komunikasi publik yang lebih sehat:

Masyarakat diharapkan terus kritis namun tetap memberi ruang klarifikasi. Tokoh publik perlu mengasah sensitivitas komunikasi agar pesan yang disampaikan sejalan dengan kondisi riil rakyat. Media dan warganet diharapkan mampu menyalurkan kritik dengan cara konstruktif, sehingga tetap mendidik dan tidak sekedar menghukum.

Baca Juga :  Indrajaya: Jika Anggaran Terbatas, Pembangunan IKN Bisa Ditunda

Akhirnya, saya percaya bahwa setiap peristiwa, betapapun sulitnya, bisa menjadi pelajaran berharga. Dari kasus ini kita belajar pentingnya transparansi, empati, kinerja nyata, dan kesadaran komunikasi, agar proses demokrasi Indonesia semakin matang dan penuh kedewasaan.