Pintasan.co, Jakarta – Disalah satu ruang kerja di kompleks pemerintahan Kabupaten Ponorogo, nama Agus Pramono telah lama menjadi bagian dari denyut birokrasi. Tiga belas tahun lamanya ia duduk di kursi Sekretaris Daerah, menjembatani kepemimpinan tiga bupati berbeda dan menjadi penopang di balik jalannya administrasi daerah. Dalam catatan para aparatur, ia dikenal tenang, hemat bicara, tapi selalu hadir di setiap keputusan penting.

Namun sore itu, Jumat, 7 November 2025, ketenangan yang biasa menyelimuti gedung pemerintahan itu terbelah oleh kabar mendadak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan di Ponorogo. Beberapa pejabat diamankan, termasuk sang Sekda yang telah lama menjadi simbol stabilitas birokrasi. Nama yang dulu jarang muncul di media, kini memenuhi tajuk-tajuk berita nasional.

Bagi masyarakat Ponorogo, Agus bukan wajah asing. Sejak awal 2010-an, ia dikenal sebagai pejabat yang menjaga kesinambungan sistem ketika kepala daerah datang dan pergi. “Kalau dihitung, beliau sudah 13 tahun menjabat. Seingat saya belum pernah ada Sekda selama itu di sini,” tutur seorang pegawai senior di lingkungan Pemkab, Sabtu (8/11/2025), dikutip dari beritajatim.com.

Di dunia birokrasi, masa jabatan sepanjang itu bisa dianggap prestasi — bukti kepercayaan dan kemampuan menjaga ritme pemerintahan. Namun di sisi lain, lamanya seseorang bertahan di posisi strategis sering kali menimbulkan tanya: apakah kestabilan yang panjang selalu searah dengan ketulusan pengabdian?

Perjalanan Agus dimulai dari bawah. Ia merangkak dalam sistem kepegawaian negeri di tanah kelahirannya yang dikenal dengan budaya Reog. Di masa transformasi digital dan penerapan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), namanya sering disebut sebagai sosok yang piawai membaca arah perubahan. Ia menjadi penghubung antara kebijakan dan pelaksana, antara kepala daerah dan pegawai di lapangan.

Namun, keharmonisan yang dibangunnya selama bertahun-tahun kini tengah diuji. Operasi tangkap tangan KPK yang juga menjerat Bupati Sugiri Sancoko membuat publik menengok kembali perjalanan panjang sang birokrat yang selama ini bekerja dalam diam.

Menurut data dari laman resmi elhkpn.kpk.go.id, Agus terakhir melaporkan harta kekayaannya pada 4 Februari 2025 dengan total Rp8,89 miliar. Aset terbesar berupa tanah dan bangunan senilai Rp8,87 miliar tersebar di Ponorogo, Madiun, dan Makassar. Ia juga memiliki kendaraan pribadi, di antaranya satu unit Toyota Jeep tahun 2016 dan dua sepeda motor. Kas dan setara kas yang dilaporkan mencapai Rp1,16 miliar — seluruhnya telah dinyatakan lengkap secara administrasi.

Namun setelah operasi KPK itu, laporan harta tersebut dibaca dengan kacamata lain. Publik kini bertanya tentang asal-usul kekayaan dan bagaimana mekanisme pengawasan berjalan di tengah jabatan yang begitu lama dijabat satu orang.

Selama lebih dari satu dekade, Agus dikenal hati-hati. Ia jarang membuat langkah yang menimbulkan polemik. Saat kepala daerah berganti, ia tetap berada di tengah — menjaga keseimbangan antara politik dan prosedur. Loyalitasnya, kata para kolega, bukan kepada orang, melainkan pada sistem.

Namun sejarah birokrasi kerap memperlihatkan sisi lain dari ketenangan yang terlalu lama. Ketika sebuah posisi tidak pernah bergeser, ruang nyaman bisa tumbuh tanpa disadari. Dan di dalam ruang itulah, risiko sering kali berakar.

Kini, di tengah penyelidikan antikorupsi yang masih berjalan, publik Ponorogo menanti kepastian: apakah sosok yang selama ini menjadi simbol keteraturan akan tetap tegak di tengah badai, atau justru terseret arus yang selama ini ia jaga dari jauh?

KPK hingga kini belum mengumumkan status hukum Agus Pramono. Namun satu hal jelas: tiga belas tahun pengabdian di kursi Sekda kini menjadi bab baru dalam cerita panjang birokrasi Ponorogo — kisah tentang waktu, kekuasaan, dan ujian kejujuran di tanah Reog yang sarat makna perjuangan.

Baca Juga :  Kepala Badan Investigasi Khusus Diberi Petunjuk Berantas Korupsi oleh Prabowo