Pintasan.co, Jakarta Selama berabad-abad, dapur seringkali dianggap hanya urusan domestik yang diremehkan sebagai ranah masak dan menyediakan makanan saja. Padahal dapur inilah yang menjadi kekuatan besar dalam menjaga keberagaman hayati pangan.

Hal ini tercermin dari banyaknya komunitas di Indonesia yang menjadikan perempuan memiliki peran dalam menjaga, menyimpan, dan mewariskan bibit tanaman pangan dari generasi ke generasi, serta memastikan warisan tersebut tetap hidup.

Menurut sebuah publikasi WWF, perempuan memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem pertanian skala kecil dan tradisional, termasuk dalam mempertahankan keanekaragaman varietas tanaman pangan.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa “urusan dapur” perempuan sebenarnya berhubungan erat dengan urusan besar kedaulatan pangan dan pelestarian biodiversitas.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mendokumentasikan bagaimana perempuan adat komunitas Rakyat Penunggu di Sumatera Utara memelopori kebun kolektif untuk mewujudkan kedaulatan pangan di tanah leluhur mereka.

Setelah tanah adat mereka berhasil direklaim dari perusahaan perkebunan, kaum perempuan di komunitas itu bahu-membahu mengolah lahan pertanian yang sempat rusak akibat monokultur.

Ada peran perempuan adat yang sangat besar, mereka tidak hanya menanam kembali aneka tanaman pangan lokal, tetapi juga mengorganisir kelompok-kelompok tani perempuan agar berdaya secara kolektif.

Bahkan dalam mempertahankan wilayah adat dari ancaman perusahaan, perempuan berdiri di garda terdepan.

Peran perempuan sebagai penjaga benih, tampak jelas dalam kehidupan komunitas adat dan petani kecil ini bukan hanya di komunitas adat terpencil, di tingkat petani nasional pun suara perempuan semakin nyaring memperjuangkan benih lokal.

Serikat Petani Indonesia (SPI) bahkan menyebut petani perempuan sebagai “ibu kedaulatan pangan” sosok garda depan yang tidak hanya menanam untuk keluarganya tetapi turut menyediakan pangan sehat bagi masyarakat luas.

Mereka berada di garis depan menjaga tanah, air, dan benih, meski sering kali menghadapi diskriminasi dan tantangan struktural. 

Ancaman terhadap Kedaulatan Benih dan Pangan

Kedaulatan benih merupakan kemampuan komunitas dalam menentukan, menjaga, dan mengakses benih tanaman pangannya sendiri ditengah menghadapi ancaman serius.

Modernisasi pertanian yang bertumpu pada benih komersial dan model monokultur telah mengikis keragaman benih lokal.

Hilangnya satu demi satu benih lokal berarti masyarakat kehilangan kemampuan mengakses pangan yang sesuai budaya dan ekologi mereka.

Kedaulatan pangan sejatinya adalah hak setiap komunitas untuk mendapatkan makanan bergizi yang sesuai dengan kearifan lokalnya, dengan harga terjangkau dan produksi yang berkelanjutan.

Jika varietas-varietas lokal punah dan kontrol benih beralih ke segelintir perusahaan besar, hak dan kemampuan tersebut ikut tergerus.

Perusahaan multinasional saat ini bahkan mengendalikan sekitar 67% pasar benih global. Fakta ini menunjukan bahwa pasar benih dunia semakin terkonsentrasi di tangan korporasi raksasa.

Sementara itu, 99,9% benih hasil rekayasa transgenik bahkan dikuasai oleh hanya enam perusahaan benih besar dunia.

Bagi petani kecil termasuk perempuan penjaga benih di pedesaan, dominasi korporasi ini menandakan hilangnya kedaulatan. Petani harus menggunakan benih mahal yang hanya dipakai dalam satu musim saja.

Kekayaan genetik yang berasal dari benih lokal, seharusnya menjadi kekuatan dalam sistem pangan. Hanya saja hal ini harus menyusut secara drastis.

Baca Juga :  Respon Terhadap Kebijakan Keterwakilan Perempuan 30% di Kabinet Merah Putih: Transisi dari Jokowi ke Prabowo

Padahal benih lokal memiliki lebih banyak keunggulan, diantaranya lebih tahan terhadap hama tertentu, membutuhkan lebih sedikit air, serta memiliki nilai gizi dan rasa unik. Sangat disayangkan, varietas-varietas tangguh ini justru tergusur oleh varietas “unggul” yang seragam. 

Kasus ini menunjukkan bagaimana kebijakan pangan yang berorientasi sempit pada produksi tunggal, bisa mengancam keanekaragaman hayati pertanian kita dalam jangka panjang.

Paradigma pembangunan pertanian yang mengabaikan peran perempuan juga turut memperparah keadaan.

Sejumlah program pemerintah yang baik tujuannya kerap kali dilaksanakan tanpa melibatkan perempuan petani dalam perencanaan, sehingga hasilnya kontra-produktif terhadap kedaulatan mereka. 

Dapur sebagai Benteng Terakhir Keanekaragaman Hayati

Di sinilah dapur ruang yang kerap diremehkan memainkan peran strategis sebagai benteng terakhir keanekaragaman hayati pangan kita. Dapur bukan sekadar tempat memasak, melainkan titik temu antara benih dan piring makan.

Keputusan sehari-hari yang dibuat para perempuan di dapur sebenarnya menentukan tanaman apa yang ditanam di kebun dan sawah, bahan pangan apa yang dilestarikan, serta tradisi kuliner apa yang dijaga hidup.

Ketika seorang ibu di desa memilih menanam sayur lokal di pekarangan untuk diolah jadi masakan keluarga, atau ketika kelompok wanita menolak beralih ke beras varietas hibrida dan tetap menanam padi hitam warisan leluhur, sejatinya mereka sedang menjaga keberagaman genetik tumbuhan pangan nusantara.

Setiap resep tradisional yang dihidangkan di meja makan adalah manifestasi hidup dari kekayaan hayati kita. Misalnya, keberadaan masakan lokal seperti papeda, nasi aron jagung, sayur kelor, hingga aneka umbi-umbian desa menunjukkan masih terpeliharanya tanaman-tanaman asli yang mungkin sudah jarang dibudidayakan secara massal. 

Kita perlu berhenti meremehkan dapur dan pekerjaan-pekerjaan reproduktif yang identik dengan perempuan. Justru di sanalah masa depan pangan kita dipertaruhkan.

Pengakuan dan dukungan terhadap peran perempuan sebagai penjaga benih dan koki kehidupan harus diperkuat. Kebijakan pangan yang berkeadilan gender dan berpihak pada komunitas akar rumput menjadi keharusan.

Mulai dari memberikan akses lahan bagi perempuan, melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan agraria, mendukung bank benih lokal, hingga mendorong diversifikasi pangan berbasis potensi lokal semua langkah ini akan memperkokoh benteng pertahanan kita melawan krisis pangan di masa depan.

Seperti diungkap oleh Vandana Shiva, aktivis dan pemikir lingkungan terkemuka, “Benih adalah awal kehidupan. Menjaga benih berarti menjaga masa depan.” Ucapan ini mengingatkan bahwa mempertahankan benih lokal sama halnya dengan mempertahankan harapan akan esok yang berkelanjutan.

Sudah saatnya kita menempatkan “ruang domestik” ini ke panggung strategis. Menguatkan peran perempuan di dapur dan pertanian bukan romantisasi belaka, melainkan strategi konkret menjaga jati diri pangan Nusantara.

Dari dapur, perempuan menawarkan solusi: pangan lokal yang beragam, sehat, dan mandiri. Dari tangan perempuan penjaga benih, masa depan pangan yang berdaulat dan biodiversitas yang lestari bisa terwujud.

Kita semua pembuat kebijakan, masyarakat, hingga konsumen perlu berdiri di belakang mereka. Sebab dapur, dengan segala kebijaksanaannya, adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati kita yang tak boleh runtuh.

Penulis : Iik Nurul Fatimah (Mahasiswa Doktor Program studi Ilmu Pengelolaan Sumber daya alam dan Lingkungan, IPB University).