Pintasan.co, Jakarta – Hafiz Noer, Head of Research CfDS UGM menjadi salah satu pembicara di Asia-Europe Meeting (ASEM) on Human Rights (ASEMHRS) tentang Artificial Intelligence (AI) & Human Rights di Copenhagen pada 29-31 Oktober 2025.

Sejak Juli 2025 Pemerintah Denmark menerima rotasi kepemimpinan sebagai Presiden Uni Eropa, setelah sebelumnya dipegang oleh Polandia. Ada pun Denmark akan menduduki presidensi ini hingga 31 Desember 2025.

Dengan semangat presidensi ini, Asia-Europe Foundation (ASEF) sebagai forum inter-pemerintah yang berfokus pada hubungan antara negara-negara di Asia dan Eropa, mengadakan seminar dibawah program Asia-Europe Meeting (ASEM) on Human Rights (ASEMHRS) tentang Artificial Intelligence (AI) dan Human Rights. Seminar ini diadakan atas kerja sama ASEF, Raoul Wallenberg Institute, dan Kementerian Luar Negeri Filipina, Swiss, dan Tiongkok, dengan dukungan finansial oleh Uni Eropa dan Kementerian Luar Negeri Denmark. Seminar tersebut berlangsung di University of Copenhagen, Denmark, pada 29-31 Oktober 2025.

Dari berbagai organisasi internasional, universitas, dan lembaga riset yang berfokus pada isu AI dan/atau hak asasi manusia, Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (CfDS UGM) berkesempatan untuk diundang sebagai pembicara pada seminar tersebut. CfDS UGM diwakili oleh Hafiz Noer, Head of Research, di mana Hafiz diminta untuk sharing tentang pengalamannya terkait advokasi kebijakan AI di Indonesia dan riset-riset CfDS terkait AI. Hafiz tergabung pada panel “AI in the Public Sector: Delivering Services or Compromising Rights?”

“CfDS sudah mengawal kebijakan AI di Indonesia sejak 2023 di mana waktu itu kami diundang FGD tentang Surat Edaran Kecerdasan Artifisial. Saya sharing terkait dinamika diskusi yang ada serta bagaimana tata kelola AI di Indonesia” ujar Hafiz.

Indonesia sendiri saat ini masih menganut “soft law” dalam merespon AI dengan dikeluarkannya Surat Edaran Kecerdasan Artifisial pada akhir 2023 lalu. Surat Edaran ini menekankan pada prinsip-prinsip etika yang harus diintegrasikan bagi pengembang dan pengguna AI di sektor publik maupun swasta. Meskipun Surat Edaran ini bersifat tidak mengikat secara hukum, AI sendiri sudah diatur di dalam Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) namun dengan diksi “agen elektronik”.

Baca Juga :  Bupati Luwu Timur Tinjau Teknologi Pengolahan Sampah Jadi Energi di TPST Bantargebang

Saat ini, pemerintah Indonesia sedang membahas tentang Peraturan Presiden (Perpres) terkait AI dan sedang menyusun Buku Putih Peta Jalan Kecerdasan Artifisial guna menjadi pedoman dan membuat regulasi yang lebih mengikat.

Hafiz menyambut baik penyusunan Buku Putih ini yang dianggap lebih inklusif karena partisipasi organisasi masyarakat sipil, swasta, akademisi, dan aktor kebijakan lain untuk menguatkan dokumen tersebut.

“Ada empat kelompok kerja dalam penyusunan Buku Putih tersebut; Pokja Etika, Pokja Infrastruktur dan Data, Pokja Kebijakan, Pokja Riset dan Inovasi Industri, Pokja Pembiayaan, Pokja Pengembangan Talenta, dan Pokja Use Case,” tambah Hafiz.

Diskusi AI & Human Rights ini bisa dijadikan refleksi pemerintah Indonesia yang memilih untuk mengatur AI secara “soft” tadi. Menurut Hafiz, instrumen prinsip-prinsip etika yang diadopsi dari prinsip-prinsip hak asasi manusia harus bisa diejawantahkan secara praktiknya.

“Di Denmark bahasannya sudah sampai pada bagaimana instrumen HAM ini bisa menjawab tantangan transparansi dan akuntabilitas; misalnya apabila ada hak yang dilanggar oleh keputusan AI” ujar Hafiz.

Harapannya ke depan pemerintah Indonesia dapat mengedepankan instrumen legal AI secara horizontal dan vertikal.

“Secara horizontal, harus ada produk hukum yang mengatur secara umum terkait AI utamanya terkait levelling risiko, kewajiban pelaporan, dan prinsip pengembangan AI. Secara vertikal, produk hukum harus dapat menyasar pertanggung jawaban sistem pengembangan AI dan algoritma yang digunakan agar sistem tersebut bekerja” tutup Hafiz.