Pintasan.co, Jakarta – Pemerintah Thailand mengumumkan telah menyita aset senilai lebih dari 300 juta dolar AS atau sekitar Rp 5 triliun yang diduga berkaitan dengan jaringan penipuan daring (online scam) yang beroperasi di kawasan Asia Tenggara.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Perdana Menteri Thailand, Anutin Charnvirakul, pada Rabu (3/12/2025), meski tidak merinci waktu pasti pelaksanaan penyitaan.
Langkah ini merupakan hasil dari serangkaian operasi terkoordinasi antara aparat penegak hukum di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat yang menargetkan Prince Holding Group yang berbasis di Kamboja serta jaringan bisnis internasionalnya.
Anutin menyebut penyitaan tersebut sebagai salah satu yang terbesar yang pernah dilakukan pemerintah Thailand.
Target utama penyitaan mencakup Chen Zhi, pendiri Prince Group yang berkewarganegaraan China, seorang senator Kamboja, serta dua warga negara Thailand. Anutin menegaskan seluruh pihak yang terlibat akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Sebelumnya, pada Oktober lalu, otoritas Amerika Serikat telah mendakwa Chen Zhi atas tuduhan memimpin kamp kerja paksa di Kamboja.
Di lokasi tersebut, para korban tindak pidana perdagangan orang dipaksa menjalankan aktivitas penipuan daring.
Kantor Pemberantasan Pencucian Uang Thailand merinci bahwa sekitar 100 aset milik Chen disita dengan nilai mencapai 373 juta baht atau setara Rp 194 miliar.
Aset tersebut meliputi tanah, uang tunai, perhiasan, dan barang-barang mewah.
Thailand juga menyita aset senilai hampir 15 juta dolar AS atau sekitar Rp 249,25 miliar milik Kok An, seorang senator sekaligus pengusaha Kamboja yang dikenal sebagai sekutu mantan Perdana Menteri Hun Sen, yang kini menjabat sebagai Presiden Senat Kamboja.
Sementara itu, porsi terbesar penyitaan di Thailand, yakni sekitar 290 juta dolar AS atau setara Rp 4,8 triliun, berasal dari dua warga negara Thailand yang diduga memiliki keterkaitan erat dengan operasional jaringan penipuan tersebut.
Jaringan penipuan siber ini memang telah lama menjamur di berbagai negara Asia Tenggara.
Aksi kejahatannya umumnya dilakukan dari gedung perkantoran atau gudang tersembunyi, dengan sasaran korban pengguna internet di seluruh dunia.
Sebagian pelaku bekerja secara sukarela, namun banyak pula yang merupakan korban perdagangan orang yang ditahan dalam kondisi menyerupai penjara.
Pada Oktober 2025, Departemen Kehakiman Amerika Serikat menyatakan Prince Group sebagai salah satu organisasi kriminal lintas negara terbesar di Asia.
Bahkan, otoritas AS juga telah menyita aset kripto berupa Bitcoin senilai sekitar 15 miliar dolar AS atau setara Rp 249,16 triliun yang diduga berasal dari hasil tindak kejahatan jaringan tersebut.
Selain Thailand dan Amerika Serikat, sejumlah negara lain turut melakukan tindakan serupa.
Inggris membekukan aset bisnis dan properti milik jaringan Chen di London dengan nilai lebih dari 130 juta dolar AS atau sekitar Rp 2,15 triliun.
Taiwan, Singapura, dan Hong Kong juga terlibat dalam penyitaan aset dengan total nilai mencapai sekitar 350 juta dolar AS atau setara Rp 5,8 triliun.
Meski demikian, Prince Group pada bulan ini mengeluarkan pernyataan resmi yang membantah seluruh tuduhan tersebut.
Mereka menegaskan bahwa perusahaan maupun Chen Zhi tidak terlibat dalam aktivitas kriminal apa pun.
