Pintasan.co, Jakarta – Kinerja ekspor Tiongkok pada November 2025 melesat jauh di atas perkiraan pasar.

Lonjakan ini ditopang oleh peningkatan pengiriman ke berbagai negara di luar Amerika Serikat, seiring upaya Beijing mengurangi ketergantungan pada pasar AS akibat tingginya tarif impor yang diberlakukan Presiden Donald Trump.

Tekanan hambatan perdagangan tersebut mendorong Tiongkok mempercepat strategi diversifikasi pasar ekspor sepanjang tahun ini.

Data kepabeanan yang dirilis pada Senin (8/12/2025) mencatat ekspor Tiongkok tumbuh 5,9 persen secara tahunan, berbalik arah dari penurunan 1,1 persen pada Oktober dan melampaui proyeksi Reuters sebesar 3,8 persen.

Sementara itu, impor meningkat 1,9 persen, meski masih di bawah ekspektasi analis yang memperkirakan kenaikan 3 persen.

Peningkatan ekspor ini mencerminkan pergeseran orientasi pasar yang semakin nyata sejak Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS tahun lalu.

Produsen Tiongkok memperkuat kerja sama dagang dengan Asia Tenggara dan Uni Eropa, sekaligus memanfaatkan ekspansi global perusahaan-perusahaan domestik untuk membangun basis produksi baru yang lebih efisien dari sisi tarif.

Menurut ekonom Capital Economics, Zichun Huang, pelonggaran tarif dalam kesepakatan dagang AS–Tiongkok belum mampu mendongkrak ekspor ke Amerika Serikat pada bulan lalu.

Namun, pemulihan ekspor secara keseluruhan tetap terjaga karena Tiongkok terus merebut pangsa pasar global, dengan pengalihan jalur perdagangan menjadi faktor utama penahan dampak tarif AS.

Saat ini, rata-rata tarif AS terhadap produk Tiongkok mencapai 47,5 persen, jauh di atas ambang 40 persen yang dinilai berpotensi menekan margin keuntungan eksportir.

Dampaknya, pengiriman ke AS merosot tajam hingga 29 persen secara tahunan pada November, meski kedua negara sempat menyepakati pengurangan sebagian tarif usai pertemuan Trump dan Presiden Xi Jinping di Korea Selatan pada 30 Oktober.

Sebaliknya, ekspor ke pasar lain mencatat kenaikan signifikan. Pengiriman ke Uni Eropa melonjak 14,8 persen, ke Australia naik 35,8 persen, dan ke kawasan Asia Tenggara meningkat 8,2 persen.

Kinerja tersebut mendorong surplus perdagangan Tiongkok mencapai US$111,68 miliar, tertinggi sejak Juni, meningkat dari US$90,07 miliar pada Oktober dan melampaui estimasi pasar sebesar US$100,2 miliar.

Baca Juga :  Farhan Beberkan Alasan Terjadinya Antrean Kendaraan Sampah Menuju TPA Sarimukti

Secara kumulatif, surplus perdagangan selama 11 bulan tahun ini untuk pertama kalinya menembus angka US$1 triliun.

Direktur Eurasia Group untuk Tiongkok, Dan Wang, menyebut mesin elektronik dan semikonduktor sebagai kontributor utama lonjakan ekspor.

Kelangkaan chip kelas rendah serta produk elektronik lainnya turut mendorong kenaikan harga, sementara perusahaan Tiongkok yang berekspansi ke luar negeri tetap mengimpor mesin dan bahan baku dari dalam negeri.

Nilai tukar yuan menguat setelah rilis data ekspor yang melampaui perkiraan, di tengah perhatian investor terhadap arah kebijakan ekonomi menjelang rangkaian pertemuan penting akhir tahun.

Politbiro Partai Komunis Tiongkok menegaskan komitmen untuk memperluas permintaan domestik, yang dipandang sebagai langkah krusial guna mengurangi ketergantungan ekonomi senilai US$19 triliun tersebut pada sektor ekspor.

Para pemimpin Tiongkok dijadwalkan menggelar Konferensi Kerja Ekonomi Tengah untuk menetapkan target dan prioritas kebijakan 2025.

Sejumlah analis memperkirakan terbatasnya akses ke pasar AS dapat memangkas pertumbuhan ekspor Tiongkok sekitar dua poin persentase, atau setara 0,3 persen terhadap PDB.

Meski pesanan ekspor baru meningkat pada November, indikator tersebut masih berada di zona kontraksi, menandakan ketidakpastian global masih membayangi.

Sektor manufaktur pun terus tertekan, dengan survei resmi menunjukkan kontraksi selama delapan bulan berturut-turut.

Di sisi lain, ekspor logam tanah jarang naik 26,5 persen secara bulanan pada November, menjadi bulan penuh pertama setelah kesepakatan percepatan pengiriman antara Xi dan Trump.

Impor kedelai juga diperkirakan mencapai level tertinggi tahun ini, didorong pembelian besar dari AS dan Amerika Latin.

Namun secara umum, permintaan domestik masih lemah akibat krisis berkepanjangan di sektor properti.

Kondisi ini tercermin dari penurunan impor tembaga mentah, komoditas penting bagi industri dan konstruksi.

Kepala Ekonom ING untuk Tiongkok Raya, Lynn Song, menilai pergeseran Tiongkok menuju permintaan domestik sebagai motor utama pertumbuhan akan membutuhkan waktu.

Meski demikian, langkah tersebut dinilai krusial bagi perekonomian Tiongkok dalam memasuki fase pembangunan berikutnya.