Pintasan.co, Jakarta – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah efisiensi dalam pengelolaan anggaran negara tahun 2025.
Kebijakan ini didasarkan pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, yang menargetkan penghematan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Rp 306,7 triliun.
Sebagai konsekuensinya, anggaran untuk berbagai kementerian dan lembaga pemerintah mengalami pemotongan signifikan.
Misalnya, Kementerian Pekerjaan Umum mengalami pengurangan anggaran sebesar Rp 81 triliun, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dipangkas Rp 22,5 triliun, sementara Kementerian Kesehatan harus berhemat hingga Rp 19 triliun.
Dengan pemangkasan ini, muncul pertanyaan mengenai dampaknya terhadap masyarakat secara luas.
Dampak Pemangkasan Anggaran terhadap Masyarakat
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kebijakan efisiensi ini dapat membawa dampak besar bagi kondisi ekonomi masyarakat.
Menurutnya, belanja pemerintah pusat dan daerah akan mengalami penurunan sekitar 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2025, yang berpotensi menyebabkan pertumbuhan ekonomi negatif.
Bhima menjelaskan bahwa situasi ini berbeda dari tahun sebelumnya, di mana belanja pemerintah masih berkontribusi sekitar 7 persen terhadap PDB dengan pertumbuhan lebih dari 6 persen.
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan efisiensi ini berlawanan dengan keputusan pemerintah yang justru menambah jumlah kementerian dan lembaga negara.
Dengan jumlah kementerian yang lebih banyak, pemotongan anggaran dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi peluang kerja.
Selain itu, banyak program di luar Makan Bergizi Gratis (MBG) berisiko terdampak. Bhima mencontohkan rencana Kementerian Perindustrian dalam memperkuat daya saing ekspor bisa terganggu, begitu pula dengan pemangkasan biaya perjalanan dinas luar negeri yang dapat memengaruhi diplomasi ekonomi Indonesia.
Selain itu, berkurangnya belanja daerah akan menurunkan daya beli masyarakat, yang berpotensi menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,7 persen pada 2025.
Bhima menilai kebijakan ini seharusnya dikaji lebih dalam sebelum diimplementasikan.
Bagi daerah dengan anggaran terbatas, pemotongan ini bisa semakin memberatkan. Peluang kerja semakin sulit didapat, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) ikut terpengaruh, serta distribusi bantuan sosial berisiko terhambat.
Efisiensi anggaran juga dikhawatirkan berdampak pada pelayanan publik, misalnya pemangkasan tenaga honorer atau kontrak, serta penghentian proyek infrastruktur yang vital bagi masyarakat.
Bahkan, Bhima menambahkan bahwa kebijakan ini berpotensi melemahkan kemandirian fiskal daerah dan bertentangan dengan prinsip otonomi daerah.
Perlunya Alokasi Tepat Sasaran
Meski demikian, analisis Celios menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi ini dapat memberikan dampak positif jika dilakukan dengan strategi yang tepat.
Salah satu solusi yang disarankan adalah mengalokasikan anggaran ke sektor yang benar-benar membutuhkan dan lebih efektif dalam mengurangi kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai contoh, anggaran untuk program MBG sebaiknya lebih difokuskan pada anak-anak di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), keluarga miskin, serta kelompok rentan seperti balita dan ibu hamil.
Sementara itu, dana hasil efisiensi dapat dialokasikan untuk berbagai program lain, seperti bantuan sosial, tunjangan kinerja dosen ASN yang belum dibayarkan sejak 2020-2024, atau bahkan pembiayaan iuran BPJS Kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Di sisi lain, Celios menyoroti bahwa belum semua kementerian dan lembaga menerapkan efisiensi secara optimal.
Beberapa anggaran seperti untuk Polri, Kementerian Pertahanan, DPR, MPR, serta proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan food estate masih relatif besar.
Selain pemangkasan anggaran, Celios juga merekomendasikan pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara melalui pajak alternatif.
Beberapa opsi yang diusulkan meliputi pajak untuk orang super kaya, pajak produksi batu bara, pajak windfall untuk komoditas ekstraktif, serta pajak karton untuk mengoptimalkan efisiensi fiskal.
Langkah-langkah ini dinilai lebih efektif dibandingkan melakukan pemotongan anggaran kementerian dan lembaga tanpa kajian menyeluruh.