Pintasan.co, Yogyakarta – Menanggapi kekhawatiran atas eskalasi konflik antara Iran dan Israel yang diprediksi dapat memicu risiko ekonomi global, Ekonom Senior FEB UGM, Dr. Revrisond Baswir, M.B.A., Ak., CA, menyatakan bahwa dampak langsung terhadap perekonomian Indonesia relatif kecil.

Kecuali jika negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, Prancis, atau Rusia secara terbuka turut campur dalam konflik tersebut.

“Dampak konflik Iran-Israel terhadap perekonomian global sangat tergantung pada sejauh mana negara-negara besar terpancing masuk. Kalau keterlibatan mereka meningkat, barulah risiko global naik tajam. Namun untuk Indonesia, dampak langsungnya tidak terlalu besar,” ujar Revrisond, Jumat (27/6/2025).

Dalam menghadapi ketidakstabilan ekonomi global seperti ini, menurutnya, tantangan utama Indonesia justru terletak pada persoalan internal. Menurutnya, Indonesia harus fokus pada transparansi, pemberantasan korupsi, pengurangan kesenjangan sosial, dan penciptaan lapangan kerja. “Itu lebih krusial daripada efek eksternal,” tegasnya.

Terkait adanya lonjakan harga komoditas akibat konflik, Revrisond menilai dampaknya terhadap ekspor Indonesia dan neraca perdagangan nasional masih relatif ringan dibandingkan dengan perang tarif yang pernah dilancarkan oleh Presiden AS Donald Trump.

“Harga minyak naik, tapi efeknya tidak separah saat perang tarif dulu. Kita masih cukup bisa bertahan,” ujarnya.

Sebagai langkah strategis, ia menyarankan agar pemerintah Indonesia tidak terlalu larut dalam ketegangan geopolitik global, tetapi justru memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri, khususnya sektor energi.

“Pemerintah harus serius membenahi tata kelola Pertamina dan meningkatkan kapasitas kilang minyak dalam negeri. Ini kunci untuk menghadapi fluktuasi harga minyak dunia,” ungkapnya.

Terkait dengan potensi defisit besar yang diperkirakan terjadi di Amerika Serikat dan kemungkinan dampaknya terhadap arus modal global, Revrisond memberikan catatan penting.

Ia menjelaskan bahwa saat AS mengalami defisit besar, negara-negara berkembang seperti Indonesia biasanya akan menghadapi tekanan yang lebih tinggi.

Baca Juga :  Pj Gubernur Sulsel Fadjry Djufry Minta Izin ke Mendagri untuk Selesaikan Tugas di Makassar

Dalam kondisi tersebut, pemerintah AS cenderung akan lebih agresif dalam mendorong agenda dan kepentingan ekonominya.

Pemerintah AS akan lebih agresif mendorong kepentingan ekonominya.

“Kondisi ini mempengaruhi posisi Indonesia secara fiskal maupun diplomatik,” paparnya.

Revrisond mengingatkan seluruh pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat internasional untuk tidak menjadikan krisis global sebagai alasan stagnasi nasional.

“Kondisi global jangan dijadikan kambing hitam. Justru ini saatnya kita berbenah dan memperkuat ekonomi nasional secara kolektif,” pungkasnya.