Pintasan.co, Jakarta – Amerika Serikat (AS) memanfaatkan hak vetonya untuk menolak resolusi Dewan Keamanan PBB terkait gencatan senjata di Jalur Gaza pada Rabu, 20 November 2024, waktu setempat.
Langkah ini menuai kecaman dari berbagai anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk sekutu dekat AS seperti Inggris dan Prancis.
Penolakan ini menandai keempat kalinya AS memveto resolusi Dewan Keamanan yang berkaitan dengan konflik Israel-Hamas.
Resolusi yang diusulkan oleh 10 negara anggota, termasuk Aljazair, Ekuador, Guyana, Malta, Mozambik, Korea Selatan, Sierra Leone, Slovenia, dan Swiss, sebenarnya telah mendapat dukungan dari 14 negara anggota lainnya. Namun, satu veto dari anggota tetap cukup untuk membatalkan resolusi tersebut.
Resolusi ini mendesak diadakannya gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen yang harus dipatuhi oleh semua pihak.
Selain itu, isi draf mencakup tuntutan pembebasan semua sandera tanpa syarat dan meminta Dewan Keamanan menjalankan tanggung jawabnya dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Draf ini juga menyoroti memburuknya krisis kemanusiaan di Jalur Gaza dan menuntut akses langsung terhadap layanan dasar serta bantuan kemanusiaan untuk warga sipil yang sangat membutuhkannya demi kelangsungan hidup.
“(Menolak) segala upaya untuk membuat warga Palestina kelaparan, fasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan secara penuh, cepat, aman, dan tanpa hambatan dalam skala besar ke dan di seluruh Jalur Gaza,” demikian petikan isi draf.
Draf resolusi tersebut juga menyerukan kepada semua pihak untuk menghormati hukum humaniter internasional, terutama dalam hal perlindungan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil.
Resolusi ini turut menegaskan pentingnya penerapan Resolusi Dewan Keamanan 2735, yang mencakup isu pembebasan sandera, tahanan Palestina, dan penarikan pasukan Israel dari Gaza.
Pada bagian akhir, resolusi meminta laporan dari Sekjen PBB, Antonio Guterres, terkait pelaksanaan resolusi dan penilaian menyeluruh atas kebutuhan di Gaza dalam waktu 90 hari.
Kecaman terhadap AS
Duta Besar China untuk PBB, Fu Cong, menyampaikan kekecewaannya atas hasil pemungutan suara dan menuding AS telah menghalangi harapan rakyat Palestina untuk bertahan hidup.
Ia juga menuduh AS menggunakan hak vetonya untuk semakin mendorong warga Gaza ke dalam kegelapan dan keputusasaan.
Fu menegaskan bahwa tindakan AS ini tidak akan lepas dari penilaian sejarah di masa depan.
“Apakah nyawa warga Palestina tidak punya arti apa-apa? Berapa banyak lagi orang yang harus mati sebelum mereka (AS) bangun dari tidur kepura-puraan mereka?” ujarnya.
Fu Cong, Duta Besar China untuk PBB, menilai bahwa veto AS telah merusak kredibilitas Dewan Keamanan dan hukum internasional, bahkan menjatuhkannya ke titik terendah.
Ia mendesak AS untuk lebih bertanggung jawab sebagai anggota tetap Dewan, menghentikan sikap pasif, dan tidak lagi menghindar dari tanggung jawabnya.
Kritik serupa disampaikan oleh Duta Besar Aljazair, Amar Bendjama, yang menyindir bahwa veto tersebut memberikan pesan kepada Israel bahwa mereka dapat terus melakukan tindakan genosida dan penghukuman kolektif terhadap rakyat Palestina tanpa konsekuensi apa pun.
Duta Besar Prancis, Nicolas de Riviere, mengungkapkan penyesalan mendalam atas langkah AS. Ia menyoroti kondisi Gaza yang semakin parah setiap harinya, dengan menyatakan bahwa hukum humaniter internasional telah diabaikan sepenuhnya.
Ia menegaskan bahwa satu-satunya solusi untuk menghentikan tragedi ini adalah dengan memberlakukan gencatan senjata.
Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, mengatakan bahwa veto AS tidak mengejutkan. Ia menuduh AS telah berbulan-bulan menghambat upaya Dewan Keamanan dalam menangani krisis di Gaza, sambil berpihak pada satu pihak konflik demi kepentingan politiknya, dengan mengorbankan nyawa rakyat Palestina.
Dengan nada keras, Nebenzia juga menuding AS menunjukkan kemunafikan yang nyata dalam berbagai konflik.
Duta Besar Inggris, Barbara Woodward, turut menyampaikan penyesalannya atas langkah AS. Ia menegaskan bahwa hukum humaniter internasional harus dihormati oleh semua pihak tanpa pengecualian.