Pintasan.co, Jakarta – Sistem perdagangan global, yang selama ini menjadi pilar kemakmuran bersama, kini menghadapi ancaman besar.
Proteksionisme perdagangan yang dipicu oleh tarif tinggi yang diterapkan Washington terhadap mitra dagangnya dapat menghancurkan kemajuan ekonomi yang telah dicapai selama bertahun-tahun.
Bagi ASEAN, kawasan yang bergantung pada pasar terbuka, ancaman ini bukanlah sekadar masalah jarak jauh, melainkan krisis yang akan segera datang.
Saat ini, lebih dari sebelumnya, Asia Tenggara dan China perlu membentuk aliansi yang solid untuk melawan kekuatan yang merusak kestabilan ini dan memperjuangkan perdagangan bebas sebagai dasar bagi masa depan ekonomi bersama.
Kemitraan ekonomi ASEAN-China sudah lama menjadi contoh kemitraan yang saling menguntungkan. Sejak 2009, China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi ASEAN, sementara pada 2020, ASEAN menggantikan Uni Eropa sebagai mitra dagang terbesar bagi China.
Sinergi ini bukan kebetulan. Pasar konsumen China yang besar selaras dengan perekonomian ASEAN yang dinamis dan berfokus pada ekspor.
Produk-produk dari Asia Tenggara, seperti elektronik Vietnam, minyak kelapa sawit Indonesia, dan suku cadang otomotif Thailand, masuk ke pelabuhan-pelabuhan di China, sementara investasi dan teknologi China mendukung infrastruktur dan inovasi di seluruh kawasan.
Namun, interdependensi ini kini terancam. Kebijakan “America First”, yang mengandalkan tarif, kontrol ekspor, dan reshoring rantai pasokan, telah menyebabkan guncangan dalam ekonomi global.
Meski ASEAN belum menjadi target utama, surplus perdagangan dengan Amerika Serikat yang signifikan di kawasan ini (di mana hampir semua negara anggota ASEAN, kecuali Singapura, mengalami surplus pada 2024) menjadikannya rentan.
Analis memperingatkan bahwa perekonomian yang bergantung pada ekspor, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia, berisiko menghadapi krisis ekonomi yang serius jika terlibat dalam perang dagang yang semakin tajam.
Perang dagang global
Perang dagang yang dipicu oleh AS menunjukkan kenyataan pahit. Di dunia yang saling terhubung ini, tarif bukan lagi serangan terarah, melainkan bom klaster ekonomi.
Ketika Washington menaikkan tarif terhadap barang-barang China, dampaknya dirasakan oleh banyak negara, termasuk Malaysia, Thailand, dan Indonesia, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rantai pasokan global.
Investasi terhenti, ekspor menurun, dan ketidakpastian menjadi keadaan baru.
Untuk mengatasi ancaman yang semakin besar ini, ASEAN dan China perlu bergerak lebih dari sekadar retorika dan mengambil langkah nyata yang terkoordinasi.
Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), yang mencakup 30 persen dari PDB global, merupakan langkah yang kuat.
Selain itu, tercapainya kesepakatan signifikan dalam negosiasi Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) 3.0 pada Oktober lalu menandai kemajuan penting dalam memperkuat ekonomi regional yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dengan mengurangi tarif lebih lanjut, menyelaraskan standar, dan menyederhanakan regulasi, ASEAN dan China dapat membangun ketahanan ekonomi yang lebih kuat terhadap guncangan eksternal.
Mengurangi ketergantungan ASEAN pada pasar Barat juga sangat penting. Dengan menghilangkan hambatan non-tarif, meningkatkan infrastruktur, dan memperluas kerangka kerja perdagangan digital, ASEAN dapat membuka potensi ekonomi yang sangat besar.
Investasi gabungan dalam logistik, teknologi ramah lingkungan, dan mineral penting akan semakin memperkuat rantai pasokan ASEAN-China, membuatnya lebih tahan terhadap gangguan geopolitik.
Di tingkat global, ASEAN dan China harus memimpin upaya untuk menegakkan multilateralisme. Kerja sama di WTO dan G20 akan memperkuat suara negara-negara berkembang dan menekan kekuatan proteksionis agar mengubah kebijakan mereka.
Sebagai ketua bergilir ASEAN tahun ini, Malaysia memiliki peran kunci dalam memanfaatkan kekuatan diplomatiknya untuk mendorong agenda perdagangan yang bersatu.
Sebagai alternatif, dunia yang terfragmentasi dan proteksionis akan menyebabkan ekonomi-ekonomi kecil terjebak dalam perang dagang yang dipicu oleh AS.
ASEAN dan China harus memilih untuk bekerja sama, bukan berpisah, memilih visi jangka panjang ketimbang proteksionisme jangka pendek.
Jalan menuju kemakmuran yang berkelanjutan masih terbuka jika ASEAN dan China bergerak bersama.