Pintasan.co, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa organisasi keagamaan Muhammadiyah memiliki peluang besar untuk mengelola tambang batu bara eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) milik PT Adaro Energy Tbk.
“Kalau saya tidak lupa, itu milik Adaro, kemungkinan besar Muhammadiyah yang akan mengelolanya,” ujar Bahlil saat kunjungan kerja di Balikpapan, Kalimantan Timur, Minggu (15/12/2024).
Bahlil menjelaskan bahwa proses perizinan pengelolaan tambang tersebut tengah berlangsung dan hanya tinggal menunggu waktu penerbitan izin.
Pemerintah Siapkan Enam Wilayah Tambang untuk Ormas
Lebih lanjut, Bahlil menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan enam Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari lahan eks PKP2B generasi pertama untuk dikelola organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Keenam lahan tersebut berasal dari PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Kaltim Prima Coal, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MHU), dan PT Kideco Jaya Agung.
Sebelumnya, organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) telah lebih dulu mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk mengelola lahan tambang eks PKP2B milik PT Kaltim Prima Coal. Saat ini, operasional tambang NU sudah berjalan.
Landasan Hukum dan Harapan Pemerintah
Kebijakan pemberian tambang kepada ormas ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, yang merevisi PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba.
Dalam Pasal 83A, disebutkan bahwa organisasi keagamaan diperbolehkan mengelola WIUPK sebagai upaya meningkatkan manfaat ekonomi dan pemberdayaan masyarakat.
Dengan keterlibatan NU dan Muhammadiyah, pemerintah berharap pengelolaan sumber daya alam dapat lebih transparan dan berdampak positif bagi perekonomian lokal.
Namun, kebijakan ini menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto. Ia mengkhawatirkan keterlibatan ormas dalam pengelolaan tambang bisa merusak tata kelola sektor minerba dan menurunkan wibawa ormas di mata umat.
“Fenomena ini berpotensi menimbulkan kecemburuan antar-ormas dan tumpang-tindih peran antara sektor ekonomi dan masyarakat sipil,” ujarnya.
Menjelang akhir masa pemerintahan, Mulyanto meminta kebijakan ini dikaji ulang dan berharap pemerintah lebih fokus pada kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
“Pemerintah seharusnya bersiap pamit dengan meninggalkan legacy yang baik, bukan terburu-buru mengejar kebijakan di injury time,” tandasnya.