Pintasan.co, Jakarta – Gelombang solidaritas diaspora Indonesia untuk membantu korban banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat justru terbentur aturan administratif. Bantuan kemanusiaan yang dikirim dari luar negeri masih diperlakukan sebagai barang impor dan dikenakan pajak, sehingga memperlambat distribusi ke wilayah terdampak bencana.
Keluhan ini mencuat setelah Fika, diaspora Indonesia yang menetap di Singapura, membagikan pengalamannya melalui media sosial. Ia menyebut bantuan yang dikirim dari luar negeri akan dikenakan pajak selama bencana Sumatera belum ditetapkan sebagai bencana nasional.
“Kalau belum bencana nasional, bantuan dianggap barang impor dan kena pajak,” tulis Fika dalam unggahan Instagram-nya.
Menurut Fika, kebijakan tersebut terasa tidak masuk akal di tengah kondisi darurat. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat hingga 10 Desember 2025, jumlah korban meninggal akibat banjir Sumatera telah mencapai 969 jiwa. Namun, berbagai bantuan berupa makanan, pakaian, perlengkapan medis, hingga alat komunikasi justru tertahan prosedur.
Ia menilai, pengenaan pajak ini membatasi ruang gerak diaspora yang ingin membantu secara langsung. Saat ini, pilihan yang dianggap paling aman hanyalah mengirim donasi uang melalui lembaga kemanusiaan di dalam negeri.
Kedutaan Besar RI untuk Singapura mengakui menerima banyak pertanyaan serupa dari diaspora. Namun, Duta Besar RI untuk Singapura, Suryo Pratomo, menyatakan pihaknya tidak memiliki kewenangan memfasilitasi pengiriman bantuan barang maupun mendorong penetapan status bencana nasional.
“Kami hanya bisa mengarahkan agar bantuan disalurkan dalam bentuk donasi uang, misalnya melalui Palang Merah Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai belum memberikan penjelasan resmi terkait pengenaan pajak atas bantuan diaspora. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai, Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan pihaknya masih berkoordinasi dengan unit terkait.
Di sisi lain, pemerintah pusat sebelumnya menyatakan belum membuka ruang bantuan internasional untuk penanganan bencana Sumatera. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyebut pemerintah masih mampu menangani dampak bencana dengan sumber daya yang ada, termasuk stok pangan dan bahan bakar.
Polemik ini menuai kritik publik. Warganet dan pemerhati kebijakan menilai pemerintah seharusnya memiliki mekanisme khusus dalam kondisi darurat, seperti relaksasi pajak atau jalur kemanusiaan, agar bantuan dapat segera diterima korban.
Di tengah meningkatnya kebutuhan pengungsi, diaspora berharap pemerintah segera menghadirkan kebijakan yang lebih adaptif. Bagi mereka, bantuan kemanusiaan bukan soal bisnis atau administrasi, melainkan wujud solidaritas untuk sesama anak bangsa yang sedang tertimpa bencana.
