Pintasan.co, Jakarta – Blok Mandiodo kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, penegakan hukum atas praktik pertambangan yang melanggar aturan menjadi sebuah keharusan negara demi menjaga kedaulatan sumber daya dan kelestarian lingkungan. Namun di sisi lain, penutupan tambang mendadak seolah memadamkan dapur rakyat. Ribuan masyarakat lingkar tambang yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas ekonomi pertambangan, kini berdiri di ambang kegelapan.

Apa yang dulunya menjadi denyut nadi ekonomi daerah mulai dari pedagang kecil, pekerja tambang hingga sumber mata pencaharian lainnya kini terhenti seketika. Kehidupan mereka dipaksa memasuki ruang hampa, tanpa kejelasan arah kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Penutupan tambang seakan menjadi keputusan di atas meja birokrasi yang lupa menengok wajah-wajah gelisah di bawahnya.

Mandiodo Tambang Nikel, Lumpur Korupsi

Blok Mandiodo, sebuah kawasan tambang nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, kini menjadi hamparan tak berpenghuni. Setelah bertahun-tahun menjadi sumber penghidupan bagi ribuan warga sekitar, kini aktivitas tambang di wilayah itu terhenti total. Bukan karena habisnya sumber daya alam, melainkan akibat skandal korupsi jumbo yang menyeret nama-nama besar di dunia pertambangan: kasus korupsi tata niaga nikel senilai Rp 5,7 triliun.

Penutupan tambang ini bermula dari hasil penyelidikan aparat penegak hukum yang mengungkap praktik mafia tambang—mulai dari penambangan tanpa izin (ilegal mining), manipulasi RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya), hingga penggelapan hasil tambang negara. Dari balik laporan keuangan perusahaan dan aliran dana, terbongkar sebuah jejaring kuat antara oknum pengusaha, pejabat daerah, hingga aparat yang diduga menikmati aliran keuntungan haram tersebut.

Tepatnya Pada tahun 2022, mencuat kasus korupsi terkait penambangan nikel di Blok Mandiodo. Kegiatan ini melibatkan penambangan di lahan konsesi PT. Antam oleh PT. Lawu Agung Mining (LAM) dan perusahaan lain yang tidak memiliki izin resmi, serta menjual ore nikel secara ilegal dengan menggunakan berbagai skema.

Mulai dari pola Kerja Sama Operasional (KSO) yang tak jelas bibit bobotnya sampe pada penjualan ore nikel yang menggunakan Dokter (Dokumen Terbang) istilah untuk meminjamkan dokumen dan kuota penjualan perusahaan lain. Kasus ini kemudian terus berkembang dan telah menjadikan beberapa oknum sebagai aktor utama dari korupsi pertambangan tersebut bahkan pejabat kementrian ESDM RI tak luput dari jeratan hukum.

Kasus Korupsi Pertambangan PT Antam tersebut di bongkar oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara dimulai dari Kasus Blok Mandiodo Jilid I. Penanganan kasus tindak pidana korupsi pertambangan ore nikel pada WIUP PT. Antam Tbk di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) jilid 1 berakhir, seiring dengan di penjarakannya 12 terpidana. Kejati Sultra kala itu, berhasil memasukan semua pelaku di balik jeruji besi.

Tentu saja dengan variasi hukuman berbeda. Dalam keterangan tertulisnya, Asisten Bidang Intelijen (Asintel) Kejati Sultra, Ade Hermawan membenarkan 12 terdakwa sudah divonis bersalah di dua pengadilan berbeda. Rinciannya, 8 terdakwa divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 25 April 2024. Sementara 4 terdakwa lainnya, divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kendari, pada 6 Mei 2024.

Para terpidana saat ini sedang menjalani hukumannya. Pertama, Hendra Wijayanto, mantan General Manager PT Antam TBk UPBN Konawe Utara. Diputus pidana penjara selama 7 tahun. Kedua, Andi Andriansyah, mantan Direktur PT Kabaena Kromit Pratama. Diputus pidana penjara selama 4 tahun. Ketiga, Agussalim Madjid Bin H. Abdul Madjid, mantan Kuasa Direksi PT. Cinta Jaya. Dia diputus pidana penjara selama 4 tahun. Keempat, Rudy Hariyadi Tjandra, mantan Direktur PT. Tristaco Mineral Makmur. Diputus pidana penjara selama 5 tahun.

Kemudian, kelima, Windu Aji Sutanto. Diputus pidana penjara selama 8 tahun. Keenam, Glen Ario Sudarto. Diputus pidana penjara selama 7 tahun. Ketujuh, Ofan Sofwan. Diputus pidana penjara selama 6 tahun. Kedelapan, Ridwan Djamaludin. Diputus pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan. Kesembilan, Sugeng Mujiyanto. Diputus pidana penjara selama 3 tahun dan 6 bulan. Kesepuluh, Yuli Bintoro. Diputus pidana penjara selama 3 tahun. Kesebelas, Henry Juliyanto. Diputus pidana penjara selama 3 tahun, dan keduabelas, Eric Viktor Tambunan. Diputus pidana penjara selama 3 tahun.

Tak berhenti sampai disitu, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Kala itu Hendro Dewanto akan melanjutkan kasus korupsi pertambangan PT Antam dengan judul Kasus Mandiodo Jilid II mengingat masih banyak dugaan keterlibatan berbagai oknum yang berpotensi terjerat hukum. Baik dari pelaku penambangannya sampai dugaan TPPU akan tetapi sampai saat ini rasanya kasus blok mandiodo hanya terhenti di pembongkaran Jilid I yang jelas proses hukum dan para terdakwanya.

Blok Mandiodo di Konawe Utara dulunya adalah denyut nadi ekonomi rakyat. Setiap truk yang keluar membawa nikel, setiap alat berat yang beroperasi, menjadi simbol harapan ribuan perut yang bergantung hidup di sekitarnya. Namun kini, setelah tambang ditutup akibat kasus korupsi triliunan rupiah, daerah itu seolah mati suri.

Bukan hanya alat berat yang berhenti bekerja tapi juga dapur-dapur rakyat yang padam. Warung kecil di pinggir jalan yang dulu ramai oleh pekerja tambang kini sepi, pedagang sayur kehilangan pembeli, sopir truk tak lagi punya muatan, dan para buruh tambang yang dulu menggantungkan hidup dari kerja harian kini terjebak dalam pengangguran massal.

Baca Juga :  Setelah Ormas Keagamaan, Perguruan Tinggi Bisa Kelola Tambang, Begini Usulannya

Ekonomi rakyat yang rapuh tak punya bantalan. Ketika tambang disegel, bukan hanya pelaku korupsi yang tersentak, tapi seluruh sendi kehidupan masyarakat ikut runtuh. Perputaran uang miliaran rupiah per hari yang dulu menjadi urat nadi ekonomi daerah, kini terhenti mendadak. Sektor informal yang menggantungkan diri pada aktivitas tambang dari logistik, transportasi, hingga jasa konsumsi ikut lumpuh.

Pemerintah daerah pun ikut terpukul. Pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pertambangan menguap, sementara tanggung jawab sosial dan ekonomi menumpuk. Anggaran pembangunan tersendat, pelayanan publik terhambat, dan daya beli masyarakat menurun drastis. Konawe Utara yang pernah dijuluki “surga nikel” kini seperti ladang tandus ekonomi, penuh harapan yang mati muda.

Namun di balik itu, muncul satu pertanyaan mendasar: apakah keadilan hanya berhenti pada penindakan korupsi tanpa memikirkan nasib rakyat yang jadi korban sistem? Penutupan tambang memang langkah hukum yang perlu, tapi tanpa solusi ekonomi bagi masyarakat lingkar tambang, hukum kehilangan wajah kemanusiaannya.

Blok Mandiodo kini menjadi potret pahit: antara menegakkan hukum dan mematikan harapan rakyat. Di tanah yang kaya nikel, yang tersisa kini hanyalah kesunyian dan pertanyaan sampai kapan rakyat harus menanggung dosa dari keserakahan segelintir elit tambang?

Persimpangan inilah yang melahirkan dilema: bagaimana menegakkan hukum tanpa mengorbankan perut rakyat? Bagaimana mengawal lingkungan tanpa menutup mata pada fakta sosial bahwa tambang telah menjadi sumber nafkah utama masyarakat sekitar?

Keadilan sejatinya bukan sekadar menindak pelanggaran, melainkan juga memberi jalan keluar. Masyarakat lingkar tambang menunggu hadirnya solusi konkret: apakah itu melalui legalisasi dan penataan ulang tata kelola tambang, pemberdayaan ekonomi alternatif, atau mekanisme transisi yang tidak meninggalkan mereka dalam ketidakpastian.

Blok Mandiodo membutuhkan jalan tengah. Jalan yang tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga menyalakan kembali dapur-dapur rakyat yang padam. Jalan yang menempatkan hukum, lingkungan, dan kesejahteraan sosial dalam satu tarikan nafas keadilan.

Menata Ulang Blok Mandiodo

Penutupan tambang Blok Mandiodo di Konawe Utara memang menjadi tamparan keras bagi ekonomi lokal. Roda perekonomian yang selama ini berputar di sekitar aktivitas tambang tiba-tiba berhenti. Ribuan pekerja kehilangan penghasilan, pedagang kecil kehilangan pembeli, dan pendapatan daerah pun merosot drastis. Namun, di balik krisis ini, tersimpan peluang untuk melakukan koreksi fundamental terhadap tata kelola sumber daya alam.

Mandiodo tak boleh hanya dilihat sebagai “tambang yang ditutup”, tetapi sebagai titik balik menuju pengelolaan pertambangan yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat. Pemerintah daerah bersama pemerintah pusat, perusahaan pemegang IUP, serta masyarakat harus membangun skema transisi ekonomi yang mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan lingkungan.

Skema Solusi Konkret

  1. Solusi Jangka Pendek: Pemulihan Ekonomi Masyarakat Lingkar Tambang
    Tujuan: Menyelamatkan penghidupan masyarakat yang terdampak langsung.
    Langkah:
  • Program Padat Karya Transisi (3–6 bulan)
    Pemerintah daerah melalui dana CSR perusahaan dan APBD membuat program padat karya di sektor non-tambang seperti rehabilitasi lahan bekas tambang, penanaman kembali hutan, perbaikan jalan desa, dan infrastruktur publik.
  • Bantuan Modal Mikro & UMKM Tambang Rakyat
    Dinas Koperasi dan UMKM memberi bantuan modal bergulir bagi pelaku usaha kecil, pedagang warung, dan bengkel yang kehilangan pelanggan akibat tutupnya tambang.
  1. Solusi Jangka Menengah: Rehabilitasi & Transformasi Ekonomi Daerah Tambang
    Tujuan: Membangun ekonomi alternatif dan memperkuat daya tahan daerah.
    Langkah:
  • Rehabilitasi Ekosistem dan Produktivitas Lahan Pasca Tambang
    Kolaborasi antara Pemda, perusahaan tambang, dan akademisi untuk mengubah lahan bekas tambang menjadi kawasan agroindustri, peternakan, atau wisata edukasi geologi.
  • Zona Ekonomi Khusus (ZEK) Mandiodo–Lasolo
    Pemerintah Provinsi Sultra dapat mengusulkan kawasan ini menjadi zona hilirisasi mineral dan pengolahan hasil tambang legal, sehingga masyarakat sekitar tetap menjadi bagian dari rantai nilai pertambangan.
  • BUMD Energi dan Sumber Daya Lokal
    Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk ikut serta dalam pengelolaan tambang secara transparan dan berbasis rakyat, dengan sistem bagi hasil ke desa-desa lingkar tambang.
  1. Solusi Jangka Panjang: Tata Kelola dan Keadilan Ekonomi
    Tujuan: Menciptakan sistem pertambangan berkeadilan dan berkelanjutan.

Langkah audit Tata Kelola dan Legalitas IUP Terpadu

Bersihkan tumpang tindih izin, bentuk satu data pertambangan Sultra untuk menghindari korupsi, illegal mining, dan pungli.

Skema “Mining for People”
10–20% keuntungan dari tambang yang sah harus masuk ke Dana Kesejahteraan Lingkar Tambang, dikelola secara transparan untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Ekosistem Hilirisasi & SDM Tambang Lokal
Perguruan tinggi, BLK, dan SMK di Sultra harus diarahkan menjadi pusat pendidikan vokasi industri pertambangan dan hilirisasi, agar tenaga kerja lokal menjadi prioritas utama.

Kunci Implementasi:
Kemitraan Multi-Pihak: Pemprov Sultra, Pemkab Konawe Utara, Kementerian ESDM, BUMN, swasta, dan masyarakat adat harus duduk satu meja.

Transparansi dan Akuntabilitas: Semua proses perizinan dan CSR perusahaan wajib terbuka untuk publik.

Fokus Keadilan Sosial: Tidak boleh lagi rakyat menjadi penonton di tanah sendiri. Blok Mandiodo harus kembali dihidupkan jika kita tidak ingin melihat mandiodo sebagai sejarah yang tenggelam karena keserakahan.

Penulis: Enggi Indra Saputra (Fungsionaris PB HMI 2024-2026 – Direktur Eksekutif JATI Wilayah Sultra)