Pintasan.co, Jakarta – Menteri Kabinet Merah Putih dibawah kepemimpinan Presiden RI Prabowo Subianto, sering kali menjadi sorotan publik.

Hal tersebut menjadi kontroversial dikalangan masyarakat, dengan berbagai pandangan terkait kebijakan yang tidak terkoordinasi dengan baik atau bahkan kebijakan yang tidak realistis dengan kondisi sosial-ekonomi pada saat ini yang menjadi kebutuhan masyarakat, menambah ketidakpastian di mata publik. Kondisi ini dapat mengurangi kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan dan menurunkan kredibilitas kabinet tersebut.

Namun, dibalik itu semua terdapat tiga lembaga survei, yakni Indikator Politik Indonesia, Litbang Kompas, dan Lembaga Survei Nasional (LSN), yang memaparkan hasil penelitiannya terkait 100 hari kinerja Prabowo-Gibran.

Lembaga survei Indikator Politik Indonesia memaparkan hasil temuan mereka soal kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Hasil survei mereka menunjukkan 79,3 persen masyarakat merasa puas terhadap kinerja pemerintahan.

Tidak jauh berbeda, Litbang Kompas mencatat tingkat kepuasan publik terhadap kinerja 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka terbilang tinggi, yaitu mencapai 80,9 persen.

Hasil survei ini menunjukkan sinyal positif atas optimisme publik terhadap kinerja pemerintah dan perlu mendapatkan apresiasi.

Namun, tidak berarti kita tidak memberikan masukan ataupu kritik. Proses kebijakan perlu dievaluasi, termasuk penerapan dan dampaknya terhadap masyarakat.

Berdasarkan survey Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) memberikan nilai rapor merah terkait kinerja kabinet merah putih Prabowo-Gibran.

Menurut survei Celios ada 10 menteri dengan kinerja buruk dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran.

Menteri – menteri tersebut diantaranya:

  1. Menteri Hak Asasi Manusai (HAM) Natalius Pigai mendapat skor -113, dan dinilai kinerja terburuk masuk lima besar kategori “Menteri yang perlu di-reshuffle” dan “Menteri/Kepala Lembaga yang tidak terlihat bekerja”.
  2. Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi mendapat skor rapor -39. Terutama dalam sektor ekonomi, dinilai bahwa kinerja Menteri Koperasi ini belum menunjukkan dampak signifikan, khususnya dalam pengelolaan koperasi sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat.
  3. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mendapat rapor -25. Celios menilai bahwa Menteri Investasi itu gagal menerjemahkan komitmen Presiden Prabowo terkait transisi energi ke dalam kebijakan konkret. Minimnya rencana teknis untuk memensiunkan PLTU batu bara, yang sampai saat ini belum memiliki kejelasan implementasi.
  4. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, mendapat rapor terburuk dengan skor -45. Dengan menyoroti kebijakan Raja Juli yang problematis, termasuk rencana mengubah hutan menjadi hutan tanaman energi dan co-firing PLTU batu bara.
  5. Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri
  6. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan dengan nilai rapor -16
  7. Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan Budiman Sudjatmiko, memiliki skor -11
  8. Menteri Pemuda dan Olahraga Ario Bimo Nandito
  9. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra
  10. Menteri Kebudayaan Fadli Zon
Baca Juga :  Kekuatan Militer di Kabinet Merah Putih: Sejumlah Menteri Berasal dari TNI-Polri

Beberapa menteri perlu segera dievaluasi supaya target-target strategis pemerintahan tidak hanya menjadi retorika.

Dalam hal politik, terutama dalam pemerintahan yang memegang kekuasaan eksekutif, kebijakan yang tepat dan konsistensi dalam melaksanakan tugas sangatlah krusial.

Kemungkinan reshuffle

Mengenai apakah waktunya reshuffle, itu adalah pilihan yang harus dipertimbangkan oleh Presiden. Reshuffle biasanya digunakan sebagai cara untuk memperbaiki kinerja menteri dengan mengganti menteri yang dinilai kurang efektif.

Namun, reshuffle juga bisa memunculkan tantangan baru, karena proses transisi menteri yang baru tidak selalu mudah dan cepat.

Di satu sisi, jika Presiden merasa ada ketidakcocokan antara menteri dan kebijakan pemerintah, reshuffle mungkin adalah solusi yang perlu dipertimbangkan.

Meskipun, Prabowo Subianto harus turut mempertimbangkan instrumen stabilitas politik dalam melakukan reshuffle.

Karena jika tidak maka akan menimbulkan blunder baru dalam langkah-langkah yang diputuskannya.

Di sisi lain, perlu diingat bahwa perbaikan kabinet tidak hanya datang dari reshuffle, tetapi juga dari kemampuan para menteri untuk belajar dari kesalahan dan beradaptasi dengan cepat terhadap kebutuhan rakyat dan kondisi global yang terus berubah.

Maka reshuffle bisa menjadi salah satu langkah yang tepat, tapi apakah itu cukup untuk meningkatkan kinerja menteri secara keseluruhan, tentu membutuhkan evaluasi yang lebih mendalam.

Oleh karena itu, reshuffle kabinet bisa menjadi langkah yang tepat dan strategis, tetapi perlu disertai dengan evaluasi menyeluruh untuk memastikan bahwa perbaikan yang dilakukan benar-benar dapat meningkatkan kinerja pemerintah secara keseluruhan yang lebih baik.

Penulis: Lilis Febriana (Kontributor Jakarta, Pintasan.co)