Pintasan.co, Jakarta – Pemerintah Tiongkok menyatakan penolakan tegas terhadap sanksi baru yang dijatuhkan oleh Uni Eropa dan Inggris kepada Rusia serta sejumlah perusahaan asal China.

Sanksi tersebut dilatarbelakangi oleh keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin yang dinilai menolak upaya gencatan senjata dengan Ukraina.

“Kami menyesalkan dan dengan tegas menentang sanksi Eropa yang tidak dapat dibenarkan tersebut terhadap perusahaan China,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, dalam konferensi pers di Beijing, Rabu (21/5).

Sanksi terbaru diumumkan oleh Uni Eropa dan Inggris pada Selasa (20/5), hanya sehari setelah Presiden AS Donald Trump melakukan pembicaraan dengan Putin—yang tidak menghasilkan komitmen untuk menghentikan perang di Ukraina.

Mao menekankan bahwa China menolak segala bentuk sanksi sepihak yang tidak memiliki dasar hukum internasional dan tidak didukung Dewan Keamanan PBB.

Ia juga menegaskan bahwa China tidak pernah menyalurkan senjata mematikan kepada pihak yang terlibat konflik dan sangat ketat dalam mengawasi ekspor barang-barang berteknologi ganda.

Mengenai hubungan dagang antara perusahaan Tiongkok dan Rusia, Mao menyatakan bahwa kerja sama tersebut bersifat normal dan tidak semestinya diganggu.

Ia menuduh negara-negara Barat, termasuk Eropa dan AS, menerapkan standar ganda karena mereka sendiri masih melakukan perdagangan dengan Rusia.

China, lanjut Mao, akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan sah perusahaan-perusahaannya.

Sanksi baru Inggris menargetkan sejumlah entitas Rusia, termasuk 14 anggota Badan Desain Sosial (SDA), 46 lembaga keuangan, dan beberapa kapal dalam “armada bayangan” yang membawa minyak Rusia.

Nama-nama seperti John Michael Ormerod, seorang warga Inggris yang membeli kapal untuk Rusia, serta dua kapten kapal tanker juga masuk dalam daftar sanksi.

Baca Juga :  Presiden Yoon Suk Yeol Diusulkan Mundur pada Februari 2025

Selain itu, Uni Eropa dan Inggris memperketat batas harga minyak mentah Rusia, dengan rencana untuk menurunkan harga batas mendekati biaya produksi guna memangkas pendapatan dari ekspor minyak yang digunakan untuk membiayai perang.

Langkah sanksi ini diumumkan menyusul serangan udara besar-besaran Rusia terhadap Ukraina, termasuk serangan drone ke kota-kota Ukraina dan pengeboman bus di Sumy yang menewaskan sembilan warga sipil.

Sanksi juga menyasar rantai pasokan senjata Rusia, termasuk sistem rudal Iskander yang disebut telah digunakan dalam serangan terhadap warga sipil.

Dampak ekonomi dari sanksi ini disebut sudah mulai terasa. Ekonomi nonpertahanan Rusia mengalami resesi, dan pengeluaran untuk pertahanan kini menyerap lebih dari 40% anggaran negara, memaksa pemerintah menaikkan pajak serta memotong anggaran sosial.

Sementara itu, pembicaraan perdamaian antara Rusia dan Ukraina—yang dimediasi atas inisiatif Donald Trump—berlangsung untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga tahun pada 16 Mei, tetapi tidak menghasilkan kesepakatan.

Ukraina menyatakan siap melakukan gencatan senjata segera, namun Rusia meminta dialog lebih lanjut terlebih dahulu, yang dianggap oleh Uni Eropa sebagai tanda bahwa Putin belum berniat mengakhiri konflik.