Pintasan.co, Jakarta – Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus memperkuat stabilitas fiskal.

PPN yang menyumbang sekitar 41 persen dari total penerimaan pajak, merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang paling andal.

Meskipun demikian, rencana kenaikan tarif ini menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.

Kebijakan tersebut berpotensi menambah beban ekonomi karena peningkatan tarif PPN akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, yang pada akhirnya dapat menurunkan daya beli masyarakat.

Kondisi ini dikhawatirkan dapat memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat. Dengan demikian, muncul pertanyaan mengenai apakah kebijakan ini merupakan langkah yang bijaksana atau justru akan menjadi beban tambahan bagi rakyat.

Kenaikan tarif PPN oleh pemerintah diklaim sebagai langkah strategis untuk mengamankan pendapatan negara demi mendukung pembiayaan berbagai program pembangunan.

Dalam kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, penerimaan pajak yang stabil dianggap menjadi landasan penting bagi keberlanjutan berbagai inisiatif pemerintah.

Selain itu, kebijakan ini diharapkan dapat mendorong kepatuhan pelaku usaha dalam melaporkan pajak mereka, sehingga memperluas basis pajak negara.

Namun, dampak dari kebijakan ini tidak dapat diabaikan, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

Dampak sosial kenaikan PPN

Pertanyaannya adalah, apakah kebijakan ini sudah dirancang dengan mempertimbangkan dampak sosial yang lebih luas?

Berdasarkan laporan dari Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran kelompok miskin hingga Rp101.880 per bulan atau Rp1.222.566 per tahun.

Akibatnya, kelompok ini mungkin harus mengurangi tabungan mereka atau bahkan menurunkan kualitas konsumsi harian.

Hal ini menjadi kekhawatiran karena sebagian besar pengeluaran rumah tangga miskin sudah difokuskan pada kebutuhan pokok.

Kenaikan biaya hidup ini dapat memengaruhi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti pendidikan dan kesehatan.

Untuk beberapa keluarga, tambahan pengeluaran ini berisiko menjadi beban yang signifikan, terutama mengingat pendapatan mereka yang terbatas dan ketergantungan pada barang-barang pokok yang harganya terus meningkat.

Baca Juga :  Ombudsman RI: Pentingnya Memenuhi Hak Perlindungan bagi Peternak

Pemerintah menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN akan difokuskan pada barang-barang mewah, yaitu produk konsumsi tersier yang umumnya hanya diakses oleh masyarakat berpenghasilan tinggi.

Barang-barang ini dianggap bukan kebutuhan utama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dampaknya terhadap masyarakat berpenghasilan rendah diyakini akan minimal.

Selain itu, kebijakan ini dirancang untuk tetap mempertahankan tarif pajak yang lebih rendah pada barang-barang esensial yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat menengah ke bawah, seperti kebutuhan pangan, transportasi, dan layanan kesehatan.

Kenaikan tarif PPN 12% menimbulkan kekhawatiran karena berisiko menciptakan “kelompok miskin baru,” terutama bagi masyarakat yang berada di ambang garis kemiskinan akibat peningkatan biaya hidup yang tidak seimbang dengan pendapatan.

Analisis IMF menunjukkan bahwa kenaikan pajak konsumsi sering kali tidak efektif dalam mengurangi kesenjangan sosial, khususnya di negara dengan tingkat ketimpangan tinggi seperti Indonesia.

Langkah mitigasi menghadapi dampak negatif PPN 12%

Untuk mengurangi dampak negatifnya, pemerintah perlu mengimplementasikan langkah mitigasi, seperti bantuan langsung tunai (BLT), perluasan jaring pengaman sosial, pengecualian PPN untuk kebutuhan pokok, serta kebijakan pajak progresif.

Selain itu, pemberdayaan ekonomi melalui pelatihan kerja dan bantuan modal harus didukung oleh edukasi publik, pengawasan harga, dan evaluasi kebijakan untuk memastikan keadilan dan efektivitasnya.

Kenaikan tarif PPN adalah kebijakan yang menimbulkan dilema besar. Di satu sisi, kebijakan ini penting untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi di sisi lain, dampak sosial dan ekonominya tidak boleh diabaikan.

Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menyeimbangkan antara pencapaian tujuan fiskal dan perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang rentan.

Tanpa langkah mitigasi yang tepat, kenaikan PPN dapat menjadi beban tambahan bagi masyarakat miskin.

Namun, jika diimplementasikan dengan pendekatan yang inklusif dan adil, kebijakan ini memiliki potensi untuk menciptakan sistem fiskal yang lebih stabil dan berkeadilan.

Sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk terus memantau dan mengkritisi kebijakan ini, agar tidak hanya berorientasi pada target keuangan negara, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan rakyat yang menjadi fondasi utama pembangunan.

Penulis: Umi Hanifah (Content Writer Pintasan.co)