Pintasan.co, Jakarta – Hari ini, Istana Merdeka bukan sekadar menjadi tempat penyerahan surat kepercayaan para Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP). Di balik formalitas diplomatik itu, tersirat arah baru kebijakan luar negeri Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto — yakni mengukuhkan posisi Indonesia sebagai poros dialog di tengah dunia yang semakin multipolar, (Jakarta, 7/11/2025).
Para diplomat dari berbagai benua datang bukan hanya membawa dokumen resmi, tetapi juga membawa pesan: dunia kini menatap Indonesia bukan sekadar sebagai mitra, melainkan sebagai pemain strategis dalam tatanan global baru.
Duta Besar Republik Polandia, Barbara Szymanowska, misalnya, tidak sekadar berbicara tentang kerja sama ekonomi atau pertanian. Ia menyinggung simbol-simbol kebangsaan: Garuda dan Elang Putih. Di balik ungkapan itu, terbaca diplomasi simbolik — mengakui bahwa kekuatan baru tidak lagi hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi oleh kemampuan membangun makna dan nilai bersama.
“Kita terhubung bukan hanya karena warna bendera, tetapi oleh semangat yang sama: martabat dan kemerdekaan,” ujarnya, menegaskan bahwa diplomasi abad ke-21 menuntut kesetaraan nilai, bukan dominasi kekuasaan.
Sementara itu, Duta Besar Kuwait, Khalid Jassim Alyassin, berbicara tentang energi bersih dan ketahanan pangan. Dua isu yang selama ini menjadi jantung perdebatan global. Dalam dirinya, tersimpan pengakuan bahwa Indonesia kini menjadi laboratorium masa depan — tempat energi hijau, pangan berkelanjutan, dan diplomasi humanis bertemu.
“Kami melihat Indonesia bukan hanya sebagai mitra ekonomi, tapi juga sebagai negara yang berperan dalam menjaga keseimbangan global,” kata Khalid, menempatkan Indonesia di barisan negara penentu arah dunia pasca-era minyak.
Dari Pakistan, Duta Besar Zahid Hafeez Chaudhri mengingatkan bahwa hubungan kedua negara bukanlah hubungan yang baru lahir dari meja perundingan modern. Ia menyebutnya “persaudaraan historis” — satu istilah yang jarang digunakan dalam diplomasi formal. Pesan yang ia bawa lebih dari sekadar kerja sama pertahanan; ia menghidupkan kembali jembatan kultural yang menghubungkan Asia Selatan dan Asia Tenggara sejak masa perjuangan kemerdekaan.
“Yang terpenting bagi kami bukan hanya ekonomi, tetapi kontak antarmasyarakat,” ujarnya. Sebuah sinyal bahwa hubungan antarbangsa masa depan tidak lagi cukup dibangun oleh perjanjian negara, tetapi oleh jalinan manusia ke manusia.
Sementara Duta Besar Yaman, Salem Ahmed Balfakeeh, membawa dimensi spiritual dan historis. Ia mengingatkan bahwa hubungan Yaman-Indonesia telah terjalin sejak abad ke-7 — ketika para ulama Hadhramaut menapaki tanah Nusantara, menyebarkan Islam dan nilai-nilai damai. Dalam konteks dunia modern yang penuh ketegangan, narasi Salem menjadi cermin: diplomasi Indonesia punya akar panjang dalam nilai kemanusiaan dan keagamaan.
“Banyak pelajar Indonesia yang kini belajar di Yaman, dan itu bukti bahwa hubungan kita tidak pernah terputus,” katanya.
Dari berbagai pidato itu, terbaca satu benang merah: Indonesia sedang menyiapkan wajah baru diplomasi global. Sebuah diplomasi yang tidak lagi bergantung pada kekuatan ekonomi semata, tetapi pada daya tarik nilai, budaya, dan keadilan sosial.
Presiden Prabowo, yang hari ini menerima para duta besar dengan tenang dan penuh simbolisme, tampaknya sedang merintis arah politik luar negeri yang lebih tegas namun tetap inklusif: menjadikan Indonesia sebagai poros netral aktif, bukan pengikut blok mana pun, tetapi penentu arah di antara keduanya.
Tujuh puluh tahun setelah hubungan diplomatik pertama Indonesia dengan dunia dibuka oleh Sukarno, kini babak baru terbentang — di mana diplomasi tidak hanya bicara kepentingan, tapi juga visi peradaban.
