Pintasan.co, Bandung – Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Kemendikbudristek, Abdul Haris, mengungkap tiga tantangan utama yang dihadapi pendidikan tinggi saat ini. Ketiga tantangan tersebut perlu segera diatasi agar cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat tercapai.
Menurut Abdul Haris, kunci utama untuk mewujudkan Indonesia Emas, yang ditandai dengan era masyarakat adil dan sejahtera, terletak pada pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah satu cara paling efektif untuk meningkatkan kualitas SDM adalah melalui pendidikan.
Ia juga mengakui bahwa dunia pendidikan menghadapi berbagai tantangan yang terus berkembang. Oleh karena itu, pemerintah terus memprioritaskan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
“Peningkatan kualitas pendidikan saat ini menjadi prioritas pemerintah, utamanya dalam menjawab tiga tantangan,” katanya dalam pembukaan Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (Konaspi) XI di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dikutip Jumat (11/10/2024).
Adapun tiga tantangan pendidikan tinggi yang disebutkan Abdul Haris yakni:
1. Ketimpangan Akses
Akses masyarakat untuk mengakses pendidikan tinggi dinilai masih timpang. Angka partisipasi pendidikan dan tingkat penyelesaian pendidikan dari jenjang SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi masih rendah.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, dari 281 juta penduduk Indonesia, baru 97,83% atau sekitar 275 juta orang berhasil menamatkan pendidikan SD. Namun, angka ini menurun di jenjang pendidikan selanjutnya yakni SMP 90,44% (254 juta orang), dan SMA 66,79% (188 juta orang).
Sedangkan untuk pendidikan tinggi, Puslapdik Kemendikbudristek dari data BPS 2023 menyebutkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi mencapai angka 31,45%. Artinya dari seluruh jumlah penduduk Indonesia, baru 88 juta orang yang merasakan pendidikan tinggi.
“Lalu, ketimpangan yang jauh terjadi di jenjang perguruan tinggi yang hanya 31, 45 persen yang bisa kuliah. Selain itu, dari aspek penyandang disabilitas pun hanya 2,8 persen yang menyelesaikan kuliah,” ungkap Abdul Haris.
2. Kesenjangan Kualitas
Terjadi kesenjangan kualitas antara perguruan tinggi negeri (PTN) yang ada di kota besar maupun daerah. Ketimpangan yang sama terlihat antara kualitas PTN dan perguruan tinggi swasta (PTS).
“Dari sejumlah perguruan tinggi yang ada, hanya ada 5 PTN-BH yang masuk top 500 dunia,” tambahnya.
3. Kurangnya Relevansi
Tantangan ketiga terlihat dari kurangnya relevansi perguruan tinggi. Hal ini dapat dilihat dari angka lulusan yang tidak terserap ke lapangan pekerjaan sesuai bidang keahlian atau kompetensi program studinya.
Lalu apa yang dilakukan Ditjen Diktiristek untuk menghadapi tiga tantangan ini? Menjawabnya Abdul Hari mengatakan ada beberapa aspek yang akan difokuskan.
“Meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi, penguatan mutu dan relevansi, penguatan mutu dosen dan tendik, penguatan sistem tata kelola Ditjen Diktiristek, dan penguatan riset, inovasi, dan pengabdian kepada masyarakat,” bebernya.
Namun langkah strategis itu tidak bisa tercipta bila tidak dibarengi dengan kerja sama dan dukungan semua perguruan tinggi. Termasuk kampus yang termasuk dalam daftar Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Dengan demikian ia berharap LPTK bisa terus konsisten menjadi pemerintah Indonesia. Terutama untuk kemajuan pendidikan tinggi menuju Indonesia Emas 2045.
“Melalui Konaspi ke-11 ini terus konsisten menjadi mitra pemerintah dalam memberikan rekomendasi strategis percepatan pembangunan nasional,” tutup Abdul Haris.