Pintasan.co, Solo – Kisruh suksesi Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat kembali mengemuka setelah wafatnya Sinuhun Pakubuwono (PB) XIII. Konflik internal yang sempat mereda kini muncul kembali, mengingatkan publik pada perpecahan berkepanjangan antara PB XIII Hangabehi dan PB XIII Tedjowulan beberapa tahun lalu.
Setelah PB XIII berpulang, dua tokoh trah PB XII kembali bersaing memperebutkan legitimasi tahta. Putra mahkota, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamangkunegoro Sudibyo Rajaputra Narendra Mataram, lebih dulu mengucap ikrar di hadapan jenazah ayahnya. Di sisi lain, KGPH Hangabehi secara resmi ditetapkan sebagai PB XIV oleh Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta melalui sidang di Sasana Handrawina yang dihadiri tokoh keluarga besar, Panembahan Agung Tedjowulan, serta perwakilan PAKASA dari berbagai kabupaten di Jawa Tengah.
Ketua Lembaga Dewan Adat, GKR Wandansari Koes Moertiyah (Gusti Moeng), menyampaikan bahwa penetapan PB XIV terjadi di luar dugaan.
“Kami semua terkejut. Saat rapat hampir ditutup, tiba-tiba keputusan itu muncul begitu saja. Kami meyakini ini kehendak Gusti Allah dan sesuai paugeran (tatanan adat) yang berlaku di dalam keluarga keraton,” ujarnya, Kamis (13/11).
Ia menegaskan bahwa keputusan tersebut diambil demi menyatukan keluarga besar dan menjaga keutuhan Keraton Surakarta setelah berbagai peristiwa yang memicu perpecahan.
Gusti Moeng menaruh harapan besar terhadap kepemimpinan PB XIV.
“Harapan kami, Keraton kembali makmur, budaya Jawa lestari, dan rakyat merasa dilindungi,” katanya.
Sebagai sesepuh keluarga, Panembahan Agung Tedjowulan tetap akan menjadi penghubung antara kerabat dan pemerintah.
“Setiap langkah dan keputusan tetap dikoordinasikan dengan Gusti Tedjo agar hubungan dengan pemerintah berjalan baik,” tambahnya.
Di tengah dinamika yang masih berlangsung, prosesi jumenengan putra mahkota yang dijadwalkan Sabtu, 15 November 2025, dipastikan tetap berjalan sesuai rencana di Keraton Kasunanan Surakarta.
Para sejarawan menilai bahwa kisruh ini bukan sekadar perebutan gelar semata, melainkan menggambarkan rumitnya warisan budaya Jawa yang berkaitan erat dengan simbol kekuasaan dan dinamika politik internal. Publik kini berharap adanya jalan damai demi menjaga keberlanjutan adat dan marwah budaya di pusat peradaban Jawa.
