Pintasan.co, Makassar – Focus Group Discussion (FGD) bertema “Gerakan Pembelajaran Budaya Bugis di Sulawesi Selatan (Sulsel)” digelar sebagai bagian dari Temu Budaya Akhir Tahun 2024 pada Sabtu (28/12/2024) di Gedung MULO, Dinas Kebudayaan Sulsel.

Sesi ini menghadirkan berbagai pembahasan menarik tentang perkembangan kebudayaan Bugis dari masa ke masa.

Ajiep Padindang, Pembina Yayasan Sulapa Eppae, membuka diskusi dengan menyoroti perjalanan kebudayaan Bugis, mulai dari zaman purba hingga era modern.

Salah satu topik yang mencuri perhatian audiens adalah keberadaan Sekolah Budaya Bugis, yang ia sebut telah berjalan sejak 4-5 tahun lalu.

Ajiep, yang juga Pembina Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS), mengungkapkan bahwa hingga kini Sekolah Budaya Bugis telah meluluskan sekitar 1.000 peserta melalui lokakarya yang melibatkan para guru.

“Tiga daerah, yakni Bone, Soppeng, dan Wajo, masih aktif membina Sekolah Budaya Bugis hingga sekarang,” tambah Ajiep.

Ketua Yayasan Appa Sulapae, Jamal Andi, menyoroti pentingnya pembentukan Sekolah Budaya Bugis untuk melawan degradasi pemahaman budaya di kalangan generasi muda.

Ia mencontohkan bahwa bahasa Bugis mulai jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan oleh keluarga Bugis sendiri.

Selain itu, ia menyoroti kurangnya perhatian terhadap pengajaran bahasa daerah di sekolah, meskipun ada kurikulum muatan lokal (mulok).

“Kebanyakan mulok justru diisi dengan pelajaran bahasa Inggris karena tidak adanya pengangkatan guru bahasa daerah,” jelasnya.

Jamal juga memaparkan keberhasilan Sekolah Budaya Bugis di berbagai daerah. Di Bone, Sekolah Budaya Bugis La Mellong telah menghasilkan 16 angkatan dengan lebih dari 800 lulusan.

Sementara itu, Sekolah Budaya Bugis La Temmamala di Soppeng telah meluluskan sekitar 300 orang, dan di Wajo sekitar 150 orang.

Baca Juga :  Roti Gembong Gedhe, Pilihan Oleh-Oleh Selain Bakpia dari Yogyakarta

Menariknya, para peserta diwajibkan menggunakan huruf lontara Bugis dalam penyusunan skripsi atau makalah mereka.

Selain itu, prosesi wisuda yang disebut Paanre Temme dilakukan dengan cara tradisional, yakni menyuapi peserta layaknya tradisi khatam Alquran.

Bahkan, alumni Sekolah Budaya Bugis masih aktif berkumpul, bersilaturahmi, dan mengadakan pementasan budaya secara mandiri.

Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran budaya Bugis tidak hanya berlangsung selama masa pendidikan, tetapi juga menjadi bagian penting dalam kehidupan para lulusannya.