Pintasan.co, Pamekasan – Sebanyak 111 siswa SDN Tamberu 2, Kecamatan Batumarmar, Pamekasan, terpaksa belajar di tenda darurat milik BPBD. Aktivitas belajar itu dilakukan karena sekolah mereka disegel ahli waris yang menuntut hak tanah belum diganti rugi sejak 55 tahun lalu.

Suasana di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Tamberu 2, Desa Tamberu, Kecamatan Batumarmar, tampak berbeda. Gerbang sekolah terkunci rapat dan ditutup menggunakan lembaran seng.

Di samping halaman sekolah tersebut, beberapa siswa berdiri kebingungan. Seragam putih merah mereka kontras dengan tenda oranye milik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang berdiri di sisi sekolah, disiapkan sebagai tempat belajar sementara.

Berdirinya tenda BPBD bukan karena bencana alam, melainkan bencana hukum yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Sengketa tanah yang tak kunjung selesai selama 55 tahun membuat ahli waris pemilik lahan terpaksa melakukan penyegelan.

Kisah panjang ini bermula pada tahun 1970, ketika pemerintah mengukur sebidang tanah di Desa Tamberu untuk pembangunan sekolah dasar program Instruksi Presiden (Inpres). Saat itu, Miyaton, pemilik lahan-menolak karena belum ada kesepakatan jual beli. Namun ia luluh setelah kepala desa menjanjikan ganti rugi.

“Pengukuran tanah diizinkan, dokumen Letter C diambil karena katanya akan diganti rugi,” kenang Ach Rasyidi, cucu Miyaton, saat ditemui Jumat (24/10/2025).

Sekolah berdiri pada tahun 1971. Tapi janji tinggal janji. Ganti rugi tak pernah datang. Ketika keluarga Rasyidi mencoba mengurus sertifikat tanah pada 1985, mereka terkejut karena tanah itu sudah berubah status menjadi tanah percaton atau tanah kas desa.

“Padahal tidak pernah ada proses hibah atau pelepasan hak. Letter C kami diambil tanpa ganti rugi,” kata Rasyidi.

Sampai saat ini hak ahli waris terus berupaya mencari keadilan. Setengah abad kemudian, keluarga Miyaton belum menyerah. Pada 2022, mereka mengadu ke DPRD Pamekasan. Dari hasil pertemuan itu, disebutkan bahwa tanah SDN Tamberu 2 bukan milik percaton. Namun hasil itu tak pernah ditindaklanjuti secara nyata.

Pada 2024, setelah berbagai surat dan pertemuan tak membuahkan hasil, keluarga Rasyidi melakukan penyegelan pertama. Saat itu, mereka hanya ingin kejelasan status hukum agar tanah bisa disertifikatkan dan diganti rugi secara resmi.

Baca Juga :  Pramono Kaget! Kali Ciliwung Kebon Melati 'Sangat Tidak Terawat' saat Ditinjau

Namun, Badan Pertanahan Nasional (BPN) meminta surat keterangan dari pemerintah daerah yang menyatakan tanah bukan milik pemerintah. Ironisnya, pemerintah justru meminta putusan pengadilan sebagai dasar.

“Kami seperti diombang-ambing. Akhirnya, pada Oktober 2025, kami segel lagi sekolah itu,” ujar Rasyidi dengan nada pasrah.

Akibat penyegelan itu, sebanyak 111 siswa SDN Tamberu 2 tidak dapat belajar di ruang kelas mereka. Para siswa sempat belajar di rumah warga, hingga akhirnya BPBD menyiapkan tenda darurat. Namun kondisi panas dan sempit membuat proses belajar tidak maksimal.

Beberapa orang tua siswa mengaku khawatir anak mereka kehilangan semangat belajar.

“Kasihan anak-anak, mereka belajar di bawah tenda, kepanasan. Tapi kami juga paham, keluarga pemilik tanah menuntut haknya,” ujar Siti Fatimah, wali murid kelas IV.

Konflik ini menempatkan dua kepentingan mulia, yakni pendidikan dan keadilan pada posisi yang saling bertabrakan.

Di satu sisi, pemerintah ingin sekolah tetap berjalan. Di sisi lain, keluarga pemilik tanah menagih janji lama yang tak kunjung ditepati.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Pamekasan, Mohamad Alwi mengatakan, solusi sementara telah dilakukan agar proses belajar tetap berjalan.

“Sementara dari hasil kesepakatan bersama dengan berbagai pihak, mulai camat dan wali murid, kita sepakat mendirikan tenda di belakang sekolah untuk sementara proses belajar mengajar. Solusi selanjutnya menunggu arahan dari bupati,” pungkasnya, Selasa (28/10/2025).

Sampai saat ini belum juga ada kejelasan konkret dalam penyelesaian sengketa ini membuat sekolah tersebut selalu dibayangi ketidaktenangan selama puluhan tahun.

“Kami tidak pernah menyebut angka ganti rugi. Kami tahu ini untuk pendidikan. Tapi hak keluarga kami juga harus dihormati,” kata Rasyidi menutup pembicaraan.

Proses belajar mengajar juga sempat dikunjungi Komisi IV DPRD Pamekasan pada Senin (27/10/2025). Camat Batumarmar, R Muhammad Lutfi, yang turut mendampingi mengatakan, dari hasil kunjungan tersebut beberapa opsi mulai direncanakan.

“Kemarin ada sekitar enam orang dari Komisi IV dan melihat langsung proses belajar mengajar. Kami mengusulkan tanah kosong di belakang kantor kecamatan sebagai alternatif. Solusi lain, mencari rumah kosong untuk disewa. Terkait tuntutan ahli waris, pemerintah masih menunggu kejelasan status tanah tersebut,” jelas Lutfi, Selasa (28/10/2025).