Pintasan.co, Jakarta – Dengan pecahnya demonstrasi Agustus sampai dengan September 2025 merupakan suatu bukti bahwa negara dan masyarakat Indonesia melaksanakan proses demokrasi itu sendiri dan kedaulatan masih ditangan rakyat.

Tidak hanya aksi demonstrasi yang dilaksanakan pada hampir seluruh wilayah Indonesia untuk langsung menyampaikan aspirasi dan tuntutan, masyarakat Indonesia juga sangat kreatif dalam menyuarakan aspirasi melalui berbagai macam platform sosial media sebagai bentuk unjuk rasa era digital ini.

Hal ini dilakukan karena fleksibel, jangkauan luas, serta informasi dapat tersebar dengan cepat dan masif. Selain itu bentuk desain protes, informasi, himbauan, dan tuntutan ini di desain sangat apik dan menarik yang disebut juga dengan template. Template ini bisa langsung di share pada sosial media setiap orang yang mendapatkannya dengan fitur balasan anda atau add yours, sehingga tidak perlu lagi menuliskan apapun.

Dengan kondisi negara yang sedang berbenah seperti saat sekarang ini, secara tidak sadar masyarakat mendapatkan tekanan psikologi dari berita ataupun informasi yang dilihat di semua platfrom sosial media, dalam suatu jurnal humaniora menyebutkan bahwa teknologi digital mampu merubah perilaku dan memanipulasi manusia tanpa disadari itu sangat berbahaya, bahwa terjebak dalam alogaritma itu sangat berbahaya lebih dari yang kita kira.

Dengan kemudahan penyebaran informasi ini mestinya kita memberikan waktu pada pikiran kita untuk mencerna dan mencari kebenaran informasi yang kita terima, apakah berita yang akan kita share itu benar, informatif, solutif atau mengandung unsur provokasi yang justru memperkeruh suasana karena saat ini sosial media bisa saja dijadikan alat propaganda untuk memecah belah keutuhan negara Indonesia.

Efek dari ini tanpa disadari membuat masyarakat menjadi agresif, sensitif dan reaktif dan membagi masyarakat menjadi 2 kubu, yang bersepakat merasa itu adalah kawan seperjuangan, yang berbeda pendapat tidak segan-segan untuk didebat dengan tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar.

Bahkan tidak sedikit juga yang berani mencaci maki, sumpah serapah dan kata-kata tidak pantas lainnya, bahkan rasa saling menghargai itu sudah pelahan memudar hanya karena seseorang tidak memposting apapun atau memposting sesuatu hal yang tidak berkaitan dengan kondisi negara, dianggap tidak empati dengan kondisi bangsa atau tone deaf.

Hal ini jelas sangat berlebihan dan itu adalah hak setiap orang, padahal setiap orang pasti juga punya aktivitas dan keperluan masing-masing, dan bukan berarti tidak peduli dengan kondisi bangsa hari ini.

Hal yang disebut perjuangan pelahan berubah haluan menjadi penyerangan secara personal, yang awalnya warga jaga warga menjadi warga serang warga yang tidak sependapat dan tidak sesuai dengan keinginanya. Pun pada beberapa orang ketika mengemukakan pendapat langsung dituduh sebagai buzzer dan digiring menjadi konsumsi publik atau istilahnya diviralkan.

Padahal seseorang yang menuduh tersebut tidak memiliki bukti yang sah dan valid. Menuduh seseorang tanpa bukti yang sah dapat dipidana sebagai tindak pidana pencemaran nama baik atau fitnah sebagai mana diatur dalam Pasal 310 Ayat 1 dan Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Selain itu perlu diingat bahwa bagi seseorang penyebar berika hoax, ujaran kebencian dan tindak kejahatan digital lainya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik meningintai para pelakunya.

Baca Juga :  Presiden Prabowo Resmi Tandatangani Revisi UU Status Baru Jakarta

Memang negara menjamin kebebasan berpendapat baik dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum, namun jangan juga kita lepas kontrol dan menyebarkan informasi yang tidak benar yang bisa menganggu kenyamanan dan keamanan seseorang serta menganggu stabilitas negara Indonesia.

Tagline rakyat jaga rakyat atau warga jaga warga, mestinya ini jangan hanya dimaknai sebagai saling menjaga keamanan saja, namun juga saling tenggang rasa, saling menghargai perbedaan pendapat dan privasi bagi orang lain. Bahkan lebih setahun berlalu masih ada muncul narasi menyalahkan pemilih salah satu pasangan calon presiden.

Tentunya ini sudah tidak relevan untuk kembali diperdebatkan saat ini padahal secara konstitusional dan mekanisme pemilihan umum Presiden Indonesia adalah Bapak Prabowo Subianto yang mulai menjabat sejak 20 Oktober 2024 secara sah. Sudah 5 kali Indonesia melakukan pemilihan Presiden secara langsung yaitu pada tahun 2004, 2009, 2014, 2019 dan 2024, baru kali ini pemilih pasangan calon saat pemilihan Presiden selalu dimintai pertanggung jawaban atas segala hal yang terjadi dibangsa ini.

Jika kita memaknai demokrasi dan bhinneka tunggal ika kita tidak akan menyalahkan pilihan dan pandangan politik orang lain, karena itu adalah hak asasi manusia dan dilindungi dengan undang-undang.

Sebagai warga negara yang mencintai Indonesia sudah semestinya kita bersama-sama mengawal pemerintahan dan kebijakan-kebijakannya, serta tidak ada satu orangpun yang bisa menjamin siapapun Presidennya dalam menjalankan roda pemerintahan dan negara tidak ada tantangan dan tidak ada dinamika politik yang terjadi/

Jadi mari bersama membangun bangsa dan tidak membahas hal yang tidak relevan yang dapat menimbulkan perpecahan dan perselisihan yang tak berujung dan tidak ada mamfaatnya untuk pembangunan dan kemajuan bangsa kedepannya.

Tak hanya pada demonstrasi secara langsung di sosial mediapun tak luput dari provokasi dan bahkan bisa dibilang lebih cheos, jika kondisi seperti ini terus dikhawatirkan Indonesia bukan hancur karena politik dan ekonomi, tapi karena moral masyarakatnya sendiri yang tidak bisa berpikir dengan logis, bijak dan tidak bisa mengontrol diri dan ketikan di sosial media.

Kita perlu menyadari bahwa pengguna sosial media itu bukan hanya orang dewasa, juga anak-anak, mari kita ciptakan ruang digital yang aman bagi anak, amat miris sekali pada demonstrasi kemarin banyak anak-anak dibawah umur terlibat demonstrasi langsung.

Kita harus menyadari jejak digital itu nyata, jangan sampai menjadi bumerang bagi diri kita sendiri dikemudian hari, selain itu apa yang kita tulis di sosial media adalah cerminan dari pemikiran dan hati kita, karena apa yang kita share itu bukan hanya sekedar postingan dan caption, tapi itu mengandung energi yang akan diserap oleh orang lain.

Untuk itu share lah kebaikan, jika kita mulai lelah dengan kondisi sekarang ini marilah istirahat sejenak, berpikir dengan tenang, bersihkan hati dan pikiran dari prasangka buruk, kemudian mulai lagi menyuarakan kebaikan dan kebenaran.

Penulis: Kirana Pungki Apsari, S.H., M.H. (Pemerhati Hukum)