Pintasan.co, Jakarta – Generasi Z dan milenial menghadapi ancaman finansial serius akibat tren pengeluaran tanpa pertimbangan atau doom spending. Tren ini merujuk pada tindakan belanja impulsif yang dilakukan sebagai bentuk pelarian dari kecemasan dan ketidakpastian terhadap masa depan, terutama dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Menurut Psychology Today, perilaku doom spending terjadi ketika individu melakukan pembelian untuk menenangkan diri dari kekhawatiran mengenai masa depan mereka. Hal ini dikhawatirkan dapat merugikan kondisi finansial generasi muda, terutama Generasi Z dan milenial, yang semakin sering berhadapan dengan arus informasi negatif di dunia maya.
Ylva Baeckström, dosen senior keuangan di King’s Business School, menyatakan bahwa generasi muda ini terjebak dalam siklus informasi buruk yang memperkuat rasa putus asa. “Mereka terus-menerus terpapar berita buruk secara online, membuat mereka merasa seperti kiamat sedang mendekat,” ujarnya.
Kecemasan tersebut kemudian diterjemahkan menjadi perilaku belanja yang tidak sehat, yang akhirnya memperburuk kondisi finansial mereka.Prediksi bahwa generasi ini akan menjadi lebih miskin dibandingkan generasi sebelumnya sejalan dengan hasil survei Keamanan Finansial Internasional CNBC yang menunjukkan hanya 36,5 persen responden merasa lebih baik secara finansial daripada orang tua mereka.
Sebaliknya, 42,8 persen lainnya merasa kondisi keuangan mereka lebih buruk dibandingkan orang tua mereka.Fenomena doom spending juga tercermin dalam survei Intuit Credit Karma terhadap lebih dari 1.000 orang Amerika pada November 2023.
Sebanyak 96 persen responden menyatakan kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi saat ini, dan lebih dari seperempatnya mengakui menghabiskan uang untuk meredakan stres.Fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat.
Stefania Troncoso Fernández, seorang profesional humas di Kolombia, mengaku kesulitan menahan pengeluaran akibat inflasi dan ketidakpastian politik. “Saya dulu menghabiskan uang sembarangan karena merasa tidak mungkin membeli rumah,” katanya.
Kondisi serupa dialami oleh Daivik Goel, seorang pendiri startup yang pernah terjebak dalam pola pengeluaran tidak terkontrol karena tekanan sosial dan ketidakpuasan dalam pekerjaannya. Ia menyebut doom spending sebagai cara melarikan diri dari realitas yang tidak memuaskan.
Sementara itu, Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform pengelola kekayaan Belong, menyoroti dampak belanja daring terhadap kebiasaan doom spending. Menurutnya, kemudahan belanja online memperburuk kebiasaan impulsif.
Sebagai solusi, Rosenberg menyarankan kembali menggunakan metode pembayaran tunai untuk menciptakan “rasa sakit” dalam membayar, yang dapat membantu mengurangi pengeluaran yang tidak perlu.
Dengan ancaman doom spending yang terus membayangi, generasi muda kini harus lebih waspada dan cerdas dalam mengelola keuangan mereka untuk menghindari risiko kemiskinan di masa depan.