Pintasan.co, Jakarta – Pemengaruh dan selebritas Deddy Corbuzier, yang memiliki nama lengkap Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo, kini tengah menghadapi gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait dengan pemberian pangkat Letnan Kolonel (Letkol) Tituler dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang diterimanya pada Desember 2022.
Gugatan ini dilayangkan oleh seorang akademisi bernama Syamsul Jahidin, dengan Kementerian Pertahanan sebagai Tergugat I, Panglima TNI sebagai Tergugat II, Markas Besar Angkatan Darat (Mabes AD) sebagai Tergugat III, dan Deddy Corbuzier sebagai Tergugat IV.
Syamsul Jahidin mengajukan gugatan ini dengan dasar bahwa pemberian pangkat tituler kepada Deddy Corbuzier tidak memenuhi unsur urgensi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 1959.
PP tersebut mengatur mengenai pemberian pangkat militer khusus yang hanya bisa diberikan dalam keadaan tertentu dan mendesak. Menurut Syamsul, tidak ada kondisi mendesak yang menjadi dasar hukum untuk memberikan pangkat tituler kepada Deddy Corbuzier pada saat itu.
“Jadi, berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 1959, tidak ada urgensi dalam pemberian pangkat tituler kepada Deddy Corbuzier. Fakta bahwa Indonesia saat ini dalam keadaan damai dan tidak sedang berperang juga menjadi bukti bahwa pangkat tersebut tidak seharusnya diberikan,” jelas Syamsul dalam pernyataannya, Kamis (17/10/2024).
Selain PP tersebut, Syamsul juga merujuk pada Undang-Undang Keadaan Bahaya Tahun 1957, yang mengatur lebih lanjut mengenai syarat-syarat kondisi untuk pemberian pangkat tituler.
Namun, dalam kasus Deddy Corbuzier, ia menilai bahwa tidak ada situasi genting atau keadaan darurat yang bisa dijadikan dasar bagi pemberian pangkat tersebut.
Pangkat Letkol Tituler Deddy Corbuzier
Pangkat Letkol Tituler yang diberikan kepada Deddy Corbuzier pada Desember 2022 sempat menuai perhatian publik karena alasan pemberian yang dinilai tidak lazim. Deddy dinilai memiliki kemampuan khusus di bidang komunikasi sosial media yang dianggap bermanfaat bagi TNI.
Namun, menurut Syamsul, pemberian pangkat tersebut tidak dapat dibenarkan berdasarkan peraturan yang ada, karena Indonesia tidak berada dalam keadaan darurat atau perang pada saat itu.
“Faktanya, pemberian pangkat tituler itu tidak berdasarkan pada urgensi yang diatur dalam peraturan pemerintah. Oleh karena itu, pemberian pangkat tersebut seharusnya dianggap tidak sah,” lanjut Syamsul.
Syamsul menganggap bahwa para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tindakan tersebut dinilai melanggar ketentuan yang berlaku.
Ia juga menyatakan kekhawatirannya bahwa pemberian pangkat semacam itu di masa depan bisa terjadi kepada tokoh-tokoh lain yang mungkin memiliki popularitas tinggi di media sosial, tetapi tidak memiliki kontribusi signifikan kepada negara.
Lebih lanjut, Syamsul juga menyoroti potensi kecemburuan sosial yang bisa muncul akibat pemberian pangkat tituler ini. Ia berpendapat bahwa hal ini dapat menciptakan ketidakadilan di kalangan masyarakat dan militer.
Oleh karena itu, ia mendesak agar majelis hakim menyatakan produk hukum yang diterbitkan oleh Kementerian Pertahanan, Panglima TNI, dan Mabes AD cacat hukum, serta memerintahkan pencabutan pangkat tituler yang diberikan kepada Deddy Corbuzier.
“Memerintahkan Tergugat I, II, dan III untuk segera mencabut pangkat tituler dari Tergugat IV, Deddy Corbuzier, terhitung setelah putusan berkekuatan hukum tetap dibacakan,” demikian bunyi petitum dalam gugatan Syamsul.
Hingga saat ini, proses persidangan sudah berlangsung sebanyak empat kali. Sidang berikutnya dijadwalkan akan dilangsungkan pada 24 Oktober mendatang dengan agenda mediasi.