Pintasan.co, Jakarta – Di tengah krisis pangan global yang kian kompleks, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) memilih satu pendekatan yang tegas: menempatkan perempuan sebagai pusat solusi. Pilihan itu tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari kepemimpinan perempuan yang bekerja senyap, konsisten, dan berbasis pengetahuan. Dua di antaranya adalah Ir. Hanifah Husein dan Prof. Dr. Ir. Riri Fitri Sari, MM., M.Sc.
Hanifah Husein bukan hanya Ketua Panitia International Conference of Muslim Women (ICMW) 2025, tetapi juga Kepala Departemen Pemberdayaan dan Pelatihan Perempuan MPP ICMI. Dalam banyak pernyataannya, Hanifah selalu memulai isu pangan dari hal paling mendasar: kualitas hidup manusia. Baginya, pangan bukan sekadar komoditas, melainkan hak asasi yang menentukan apakah sebuah bangsa dapat melahirkan generasi yang sehat, cerdas, dan produktif.
“Kecukupan pangan adalah fondasi peradaban,” demikian pandangan Hanifah.
Ia menempatkan perempuan sebagai penjaga utama fondasi tersebut mulai dari dapur keluarga hingga ruang kebijakan publik. Dalam pengamatannya, jika peran perempuan dalam pemenuhan gizi dan pengelolaan pangan diabaikan, maka yang terancam bukan hanya ketahanan pangan, tetapi masa depan generasi.
Namun Hanifah juga menyadari bahwa tantangan pangan hari ini tidak lagi sederhana. Perubahan iklim, bencana alam, dan konflik global membuat persoalan pangan saling bertumpuk dan melintasi batas negara. Karena itu, melalui ICMW 2025, ia mendorong dialog lintas disiplin dan lintas negara agar perempuan tidak hanya hadir sebagai pelaksana, tetapi juga sebagai perumus solusi berbasis ilmu dan pengalaman.
Jika Hanifah membawa isu pangan dari akar sosial dan kemanusiaan, maka Prof. Riri Fitri Sari hadir dari sisi keilmuan dan teknologi. Sebagai Wakil Ketua Umum MPP ICMI sekaligus Guru Besar Teknologi Informasi Universitas Indonesia, Riri melihat masa depan ketahanan pangan tidak bisa dilepaskan dari inovasi, khususnya kecerdasan buatan (AI).
Riri menaruh perhatian pada bagaimana teknologi cerdas mulai memasuki ruang paling personal: rumah tangga. Dari kulkas pintar yang mampu melacak inventaris pangan hingga sistem pengolahan dan pengawetan berbasis AI, perempuan menurut Riri secara alami berada di garis depan adaptasi teknologi ini.
“Perempuan bukan hanya pengguna teknologi, tetapi pengambil keputusan utama,” ujarnya.
Dalam pandangan Riri, perempuan memiliki kemampuan kalkulasi multifaset: mempertimbangkan harga, keberlanjutan, efisiensi jangka panjang, hingga keamanan data dan privasi keluarga. Di titik inilah teknologi menjadi alat strategis untuk membangun rumah tangga yang sehat, berkelanjutan, dan resilien terhadap krisis pangan.
Pertemuan gagasan Hanifah dan Riri menemukan momentumnya dalam ICMW 2025. Di bawah payung ICMI, keduanya menggabungkan pendekatan sosial, keilmuan, dan nilai keislaman dalam satu agenda besar: memperkuat ketahanan pangan melalui kepemimpinan perempuan. Konferensi ini menghadirkan tokoh nasional dan internasional, membahas tata kelola pangan, perspektif Islam, hingga inovasi teknologi dan sosial, yang hasilnya akan dirangkum dalam sebuah buku rekomendasi kebijakan.
Bagi ICMI, sosok Hanifah dan Riri merepresentasikan wajah kepemimpinan perempuan Muslim yang tidak reaktif, tetapi reflektif; tidak simbolik, tetapi substantif. Dari ruang organisasi hingga forum global, keduanya menunjukkan bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal produksi dan distribusi, melainkan tentang pengetahuan, nilai, dan keberanian mengambil peran.
Di tengah dunia yang semakin rapuh oleh krisis, ICMI melalui tangan-tangan perempuan seperti Hanifah Husein dan Riri Fitri Sari sedang menanam sesuatu yang lebih tahan lama dari sekadar pangan: harapan dan masa depan.
