Pintasan.co, Pasuruan – Kasus Bank JATIM belakangan sedang ramai jadi perbincangan khalayak masyarakat, disinyalir ada kerusakan sistematis dalam tubuh lebaga ini. Banyak yang mendesak kepada bank JATIM untuk segera merekonstruksi ulang managerial didalamnya.
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Pasuruan memberikan pernyataan sikap atas krisis kepercayaan masyarakat yang sedang dialami Bank JATIM hari ini.
Ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Pasuruan / Muhammad Fathur Rohim mengatakan, “Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir kami melihat adanya kebobrokan sistematis yang coba ditutupi oleh pihak Bank JATIM, ini adalah suatu kemunduran yang membuat publik kurang percaya terhadap Bank JATIM ini menjadi ancaman serius pada kinerja dan integritas dari lembaga Bank JATIM.”
Belakangan ini integritas lembaga keuangan ini dipertanyakan oleh public, seiring terbongkarnya kasus dugaan kredit fiktif senilai Rp569,4 miliar yang menyeret oknum di Cabang Jakarta. Kejadian ini menandai tidak hanya kegagalan pengawasan internal, tetapi juga lemahnya sistem tata kelola korporasi di institusi perbankan daerah yang harusnya menjadi teladan dalam manajemen risiko dan transparansi.
Bank Jatim berstatus sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
- Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah,
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,
- POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) tentang prinsip kehati-hatian, manajemen risiko, dan tata kelola bank.
Sebagai BUMD, Bank Jatim memiliki tanggung jawab untuk beroperasi tidak hanya secara efisien dan profesional, tetapi juga akuntabel kepada pemilik modal utama, yakni Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan kredit fiktif. Kredit yang seharusnya melalui proses seleksi dan analisis kredit yang ketat ternyata diberikan tanpa agunan dan kelayakan yang memadai. Skandal ini tidak hanya melibatkan internal bank, namun juga pihak eksternal yang menikmati fasilitas kredit secara ilegal.
Hal ini menunjukkan lemahnya sistem pengendalian internal, tidak berfungsinya tiga lini pertahanan (three lines of defense) dalam manajemen risiko, kurangnya integritas dan kompetensi dalam pengambilan keputusan bisnis, dan ,minimnya pengawasan dari pemilik modal dan otoritas pengawasan bank.
Dalam sistem BUMD, kepala daerah berperan sebagai pemegang saham pengendali. Oleh karena itu, Gubernur Jawa Timur memiliki tanggung jawab moril dan hukum untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas Bank Jatim merujuk pada:
- Pasal 66 PP No. 54 Tahun 2017, direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMD dan dapat diberhentikan jika lalai dalam pelaksanaannya.
- Pasal 70-71 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, pemberhentian direksi dapat dilakukan oleh RUPS jika terbukti lalai dalam tugasnya.
Desakan dari DPRD Jawa Timur untuk segera mengadakan RUPS Luar Biasa adalah langkah tepat sebagai bentuk evaluasi menyeluruh atas kepemimpinan dan kinerja manajemen Bank Jatim.
Dengan dugaan kerugian mencapai ratusan miliar rupiah, skandal ini dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Hal ini sejalan dengan: Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara dapat dipidana.
Karena Bank Jatim adalah BUMD, maka kerugian yang timbul juga berdampak langsung pada keuangan daerah dan publik sebagai pemilik saham melalui pemerintah daerah.
Sebagai pemegang saham mayoritas, Gubernur Jawa Timur memiliki kewenangan untuk Menunjuk dan memberhentikan direksi, melakukan pengawasan atas kinerja bank, dan mengawal proses audit dan evaluasi risiko.
Namun dalam kasus ini, reaksi Gubernur dinilai lamban. Tidak ada pernyataan tegas, investigasi independen, atau pembentukan komite krisis yang bertugas menangani masalah manajemen risiko strategis. Ini adalah bentuk kelalaian dalam fungsi pengawasan aktif yang diamanatkan UU.
Kasus ini harus dijadikan momen reflektif untuk menyusun ulang sistem seleksi direksi berbasis integritas dan kompetensi dengan menerapkan standar tata kelola berbasis POJK tentang GCG dan membentuk unit pengawasan independen di bawah gubernur atau DPRD, serta melibatkan publik dalam proses akuntabilitas melalui laporan kinerja tahunan.
Bank Pembangunan Daerah tidak boleh hanya menjadi alat distribusi kredit politik atau simbol kebanggaan daerah. Ia harus menjalankan fungsi sebagai lembaga keuangan yang sehat, profesional, dan berintegritas.
Skandal kredit fiktif Bank Jatim adalah refleksi kegagalan sistemik dalam tata kelola BUMD. Reformasi menyeluruh perlu dilakukan mulai dari level pemilik saham, manajemen, hingga pengawasan eksternal.
Jika melihat kondisi Bank JATIM hari ini, Kami menyarankan Bank JATIM untuk melakukan rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPS LB), evaluasi total terhadap jajaran direksi dan komisaris, audit forensik terhadap seluruh cabang dan produk kredit bermasalah, perkuat transparansi melalui keterlibatan publik dan lembaga pengawas independen, serta merevisi sistem rekrutmen dan pengawasan BUMD berbasis merit dan integritas.