Pintasan.co, Jakarta – Pemerintah dianggap mampu mendorong penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (BBN) melalui kebijakan yang komprehensif guna mencapai target net zero emission (NZE) pada tahun 2060.
“Saya yakin dengan kebijakan komprehensif dan terobosan baru, pemerintah bisa menuntaskan berbagai hambatan untuk mendorong bioethanol sebagai BBN,” kata Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2020-2024 Satya Widya Yudha di Jakarta, Sabtu (5/10/2024).
Menurutnya, hal utama yang perlu dilakukan adalah mengatasi hambatan yang ada terlebih dahulu, agar bioetanol dapat diproduksi secara massal.
Hambatan utama, katanya, adalah keterbatasan sumber daya alam dan bahan baku yang sebagian besar masih berasal dari tanaman pangan, sehingga terjadi persaingan antara penggunaannya untuk energi atau pangan.
Ia juga menambahkan bahwa tidak adanya mekanisme insentif untuk menutup selisih harga antara bioetanol dan bensin menjadi salah satu kendala.
Selain itu, belum ada kebijakan yang mengintegrasikan sektor hulu hingga hilir, yang menyebabkan bahan baku sulit didapatkan dengan harga wajar, sementara luas lahan menurun dan produktivitas tetap stagnan.
Ia juga menyebutkan adanya peraturan lintas kementerian dan lembaga yang mengatur peran serta tanggung jawab para pemangku kepentingan dalam pelaksanaan mandatori bioetanol.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa dengan target produksi bioetanol Indonesia sebesar 13,7 juta kiloliter berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mulai tahun depan, hambatan-hambatan ini harus segera diatasi.
“Yang penting harus mengurai hambatan-hambatannya. Tetapi saya yakin, dengan terobosan baru dari pemerintahan baru hambatan itu akan bisa dituntaskan,” ucap Satya.
Menurutnya, setelah mengatasi dan menemukan solusi untuk hambatan-hambatan tersebut, barulah dapat dibahas kemampuan produksi bioetanol.
Saat ini, kapasitas produksi bioetanol nasional maksimal hanya sekitar 63.000 kiloliter, dengan rata-rata produksi tahunan sekitar 40.000 kiloliter.
“Keterbatasan produksi memang jadi tantangan saat ini karena masih mengandalkan bahan baku berupa molase. Maka, diversifikasi bahan baku seperti batang kelapa sawit tua, sorgum manis atau mikroalga perlu digalakkan agar tidak kekurangan bahan baku jika bioethanol sudah diproduksi massal,” lanjutnya.
Menurutnya, dengan bauran bioetanol 2 persen, produksi saat ini belum cukup memenuhi kebutuhan nasional, karena diperlukan 750.000 kiloliter bioetanol per tahun.
Satya mendorong pemerintah segera merumuskan kebijakan yang komprehensif dan memastikan program bioetanol berjalan efektif.
Langkah yang perlu diambil, katanya, mencakup pemberian insentif, penyusunan peta jalan, rencana aksi, dan penetapan target lahan serta diversifikasi bahan baku oleh kementerian terkait.