Pintasan.co – Kemajuan teknologi di bidang kedokteran reproduksi telah membawa berbagai solusi bagi pasangan yang mengalami kesulitan memiliki keturunan.
Dua metode yang cukup populer adalah inseminasi buatan dan bayi tabung (In Vitro Fertilization/IVF).
Namun, bagaimana Islam memandang kedua metode ini? Apakah diperbolehkan atau justru bertentangan dengan syariat? Berikut pembahasan tentang inseminasi dan bayi tabung dalam perspektif Islam.
1. Pengertian Inseminasi dan Bayi Tabung
Inseminasi Buatan : Proses memasukkan sperma suami ke dalam rahim istri secara medis dengan bantuan teknologi, tanpa melalui hubungan intim.
Bayi Tabung (IVF) : Proses pembuahan sel telur oleh sperma dilakukan di luar tubuh wanita (di laboratorium). Setelah embrio terbentuk, embrio tersebut kemudian dimasukkan ke dalam rahim sang istri.
2. Pandangan Islam tentang Inseminasi Buatan
Dalam hukum Islam, inseminasi buatan diperbolehkan dengan beberapa syarat ketat:
- Harus menggunakan sperma suami dan sel telur istri. Proses inseminasi hanya sah jika sperma yang dimasukkan berasal dari suami yang sah dan ditanamkan dalam rahim istrinya sendiri.
- Tidak melibatkan donor sperma atau rahim pengganti (surogasi). Menggunakan sperma atau sel telur dari orang lain yang dianggap sebagai bentuk zina dalam Islam dan bertentangan dengan prinsip nasab (keturunan).
- Tidak ada unsur membuka aurat secara berlebihan. Proses medis harus dilakukan oleh dokter yang kompeten, dan menjaga adab-adab aurat sesuai syariat.
Berdasarkan fatwa ulama, inseminasi buatan dalam kondisi darurat untuk pasangan yang sulit memiliki anak diperbolehkan selama memenuhi syarat di atas.
3. Hukum Bayi Tabung dalam Islam
Proses bayi tabung (IVF) juga dibahas oleh para ulama dan ahli fiqih modern. Mayoritas ulama menyatakan bahwa bayi tabung diperbolehkan dengan syarat-syarat berikut:
- Sperma dan sel telur berasal dari pasangan suami istri yang sah. Pembuahan sel telur dan sperma harus dilakukan dari pasangan yang menikah secara sah menurut syariat Islam.
- Tidak melibatkan pihak ketiga. Penggunaan donor sperma, sel telur, atau rahim pengganti (surogasi) dari pihak luar dilarang karena dapat mencampurkan nasab yang tidak sah dan merusak tatanan keluarga.
- Prosesnya harus sesuai dengan etika Islam. Tindakan medis harus dilakukan dengan menjaga aurat pasien, dan tidak boleh melanggar prinsip-prinsip terkemuka dalam Islam.
4. Dalil-Dalil yang Mendukung Hukum inseminasi buatan dan bayi tabung
Hukum inseminasi buatan dan bayi tabung berlandaskan prinsip umum dalam syariat Islam, yaitu kemaslahatan dan penjagaan keturunan (hifzh an-nasl) . Dalil-dalil yang relevan antara lain:
Al-Qur’an, Surat Al-Baqarah (2): 223
“Istri-istrimu adalah (seperti) ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki…”
Ayat ini menegaskan bahwa hubungan reproduksi hanya boleh terjadi antara suami dan istri.
Hadis Nabi SAW :
“Anak itu hak milik (dinasabkan) kepada pemilik tempat tidur (suami), sedangkan bagi pezina adalah kerugian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini melarang larangan nasab dan memastikan keturunan hanya berasal dari pasangan yang sah.
5. Larangan Donor Sperma, Sel Telur, atau Surogasi
Islam penggunaan melarang donor sperma, donor sel telur, atau rahim pengganti dengan alasan:
- Pencampuran Nasab. Melibatkan pihak ketiga akan menimbulkan ketidakjelasan nasab anak, yang bertentangan dengan prinsip Islam.
- Merusak Tatanan Keluarga. Menggunakan jasa donatur atau surogasi dapat merusak keharmonisan keluarga dan membuka pintu zina.
- Ketidakjelasan Hukum Waris. Anak yang lahir melalui donor sperma atau sel telur akan menimbulkan kebingungan hukum waris dalam Islam.
Dalam perspektif Islam, inseminasi buatan dan bayi tabung diperbolehkan dengan syarat-syarat ketat sebagai berikut:
- Prosesnya harus melibatkan sperma suami dan sel telur istri.
- Tidak boleh melibatkan donor sperma, sel telur, atau rahim pihak ketiga.
- Dilakukan dengan menjaga adab dan etika medis sesuai syariat Islam.
Dengan memenuhi syarat-syarat tersebut, teknologi medis dapat menjadi solusi halal bagi pasangan yang sulit memiliki keturunan.
Namun, jika melibatkan pihak ketiga atau melanggar prinsip-prinsip syariat, maka hukumnya menjadi haram.