Pintasan.co, Jakarta – Parlemen Irak pada Selasa (21/01/2025) mengesahkan tiga undang-undang kontroversial, termasuk amandemen hukum status personal yang memicu kekhawatiran karena dianggap dapat membuka jalan bagi legalisasi pernikahan anak.
Menurut laporan CNN, amandemen tersebut memberikan kewenangan lebih besar kepada pengadilan untuk menangani masalah keluarga, seperti pernikahan, perceraian, dan warisan.
Aktivis perempuan mengkritik langkah ini karena dianggap melemahkan Undang-Undang Status Personal Irak tahun 1959, yang sebelumnya memberikan perlindungan lebih bagi perempuan dan menyatukan hukum keluarga.
Saat ini, hukum di Irak menetapkan usia minimum pernikahan pada 18 tahun.
Namun, amandemen yang baru disahkan memungkinkan ulama menafsirkan hukum sesuai pandangan mereka terhadap ajaran Islam, yang oleh sebagian pihak diartikan mengizinkan pernikahan anak perempuan di usia muda — bahkan sejak usia 9 tahun.
Selain itu, parlemen juga mengesahkan undang-undang amnesti umum yang dinilai akan menguntungkan tahanan Sunni, tetapi dikritik karena membuka peluang bagi pelaku korupsi.
Undang-undang restitusi tanah untuk mengatasi klaim wilayah Kurdi juga disetujui.
Intisar al-Mayali, seorang aktivis hak asasi manusia dan anggota Liga Perempuan Irak, mengungkapkan bahwa amandemen hukum status personal ini akan berdampak buruk pada hak perempuan dan anak.
“Perubahan ini memungkinkan pernikahan dini, melanggar hak anak, dan melemahkan perlindungan dalam hal perceraian, hak asuh, dan warisan bagi perempuan,” ujarnya.
Sidang parlemen berlangsung ricuh, dengan tuduhan pelanggaran prosedur. Sejumlah anggota parlemen mengklaim bahwa kuorum tidak terpenuhi karena separuh anggota yang hadir tidak memberikan suara. Beberapa anggota bahkan naik ke podium untuk menyampaikan protes.
Pengambilan suara yang menggabungkan ketiga undang-undang tersebut juga menuai kritik.
“Kami mendukung undang-undang status personal, tetapi penggabungan ini bisa menimbulkan gugatan hukum di Pengadilan Federal,” kata Raid al-Maliki, seorang anggota parlemen independen.
Meski demikian, Ketua Parlemen Mahmoud al-Mashhadani menyebut pengesahan undang-undang ini sebagai langkah penting untuk memperkuat keadilan dan mengatur kehidupan sehari-hari warga Irak.