Pintasan.co, Makassar – Sejak awal Januari hingga Juli 2025, luas kebakaran hutan dan lahan di Sulawesi Selatan tercatat mencapai 474,91 hektare.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa mayoritas kejadian Karhutla ini terjadi di luar kawasan hutan, yakni di Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 444,34 hektare.
Sementara itu, sekitar 30,57 hektare lainnya berada di kawasan hutan produksi (HP).
Temuan tersebut dipaparkan dalam Rapat Koordinasi dan Supervisi Pengendalian Karhutla yang digelar di Kantor Gubernur Sulsel pada Jumat, 11 Juli 2025.
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Fahrizal, mengungkapkan bahwa penyebab utama Karhutla di Sulsel berasal dari aktivitas pembakaran lahan pertanian oleh masyarakat.
Praktik ini umumnya dilakukan setelah masa panen untuk membersihkan lahan, namun sangat berisiko saat musim kemarau.
“Kami menemukan bahwa sebagian besar titik panas berada di area pertanian dan perkebunan, bukan di kawasan hutan lindung atau konservasi. Terbesar ada di Kabupaten Pinrang,” jelasnya.
Fahrizal menambahkan bahwa pembakaran sisa panen seperti jerami sebenarnya dapat dihindari.
Ia menyarankan agar limbah pertanian tersebut diolah menjadi silase sebagai pakan ternak, terutama di musim paceklik.
“Daripada dibakar, jerami bisa dimanfaatkan sebagai pakan. Ini harus terus disosialisasikan kepada petani,” tegasnya.
Ia juga menyampaikan apresiasi terhadap Pemerintah Provinsi Sulsel yang sigap merespons potensi peningkatan titik api.
Gubernur Sulsel disebut telah menginstruksikan jajarannya untuk menyiapkan berbagai skenario mitigasi jika terjadi lonjakan hotspot.
Sementara itu, BMKG memproyeksikan musim kemarau tahun ini di Sulsel cenderung singkat dan masuk kategori kemarau basah, yang sedikit membantu mengurangi risiko kebakaran besar.
Namun demikian, tantangan di lapangan masih nyata, terutama terkait keterbatasan personel pemadam.
Saat ini, jumlah anggota Manggala Agni di bawah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) hanya sekitar 70 orang, sebagian besar masih pemula.
Menanggapi hal tersebut, KLHK menyatakan siap memberikan pelatihan peningkatan kapasitas bagi para personel pemadam melalui balai pelatihan kehutanan.
Fahrizal juga menyoroti dampak lingkungan yang ditimbulkan Karhutla, termasuk kerusakan ekosistem tanah, gangguan kesehatan masyarakat, hingga peningkatan emisi karbon yang mempercepat perubahan iklim.
Ia menekankan pentingnya dukungan dari pemerintah kabupaten dan kota dalam upaya pencegahan Karhutla, khususnya di luar kawasan hutan, yang menjadi tanggung jawab Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat.
“Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sangat krusial agar pengendalian kebakaran ini bisa berjalan optimal,” tutupnya.