Pintasan.co, Jakarta – Kasus hukum yang menjerat Thomas Lembong menuai sorotan luas karena dinilai mencerminkan persoalan klasik dalam tata kelola impor, yakni dugaan penyalahgunaan wewenang yang berujung pada tuntutan hukum serius, meskipun tanpa indikasi keuntungan pribadi.
Dalam perkara ini, Tom Lembong didakwa melakukan pelanggaran prosedur saat menjabat, khususnya dalam penerbitan izin impor Gula Kristal Mentah (GKM) tanpa melalui mekanisme rapat koordinasi lintas kementerian yang seharusnya menjadi prosedur wajib. Dakwaan menyebutkan bahwa kebijakan tersebut telah mengakibatkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp578 miliar, terutama dari hilangnya potensi penerimaan negara serta terganggunya daya saing industri gula nasional dan petani tebu lokal akibat masuknya gula impor secara besar-besaran.
Meski demikian, dalam proses persidangan terungkap bahwa Tom tidak menerima keuntungan finansial secara langsung dari kebijakan tersebut. Oleh karena itu, jaksa tidak menuntut uang pengganti darinya. Sebaliknya, tanggung jawab penggantian kerugian diarahkan kepada pihak swasta yang dianggap menikmati keuntungan dari pelaksanaan impor tersebut.
Publik pun semakin memperhatikan kasus ini karena Tom Lembong secara terbuka menyebut bahwa proses hukum terhadap dirinya sarat muatan politis. Dalam salah satu sesi persidangan, ia bahkan secara demonstratif memakan gula rafinasi di hadapan majelis hakim untuk membantah klaim jaksa mengenai bahaya produk tersebut. Aksi ini menambah dimensi simbolik pada pembelaannya, sekaligus memantik perdebatan di ruang publik tentang motif di balik dakwaan yang dihadapinya.
Kini, saat persidangan masih berlangsung dan Tom memasuki tahap pleidoi sebagai kesempatan terakhirnya untuk membela diri, opini umum berkembang bahwa kasus ini tidak semata soal legalitas formal, melainkan turut melibatkan tarik-menarik kepentingan yang lebih kompleks—mulai dari politik kekuasaan, persepsi publik, hingga penilaian terhadap integritas pejabat negara.
Pada akhirnya, persoalan utama yang diperdebatkan bukan hanya soal potensi kerugian negara, tetapi juga seputar apakah tanggung jawab pribadi dapat dibebankan pada pengambil kebijakan yang tidak terbukti menikmati keuntungan langsung. Kasus Tom Lembong menjadi cermin peliknya batas antara kebijakan publik yang keliru dan tindakan yang dapat dikriminalisasi dalam konteks politik dan hukum di Indonesia.
Content Writer Pintasan.co: Umi Hanifah