Pintasan.co, Jakarta – Semarak perayaan kemerdekaan Indonesia biasanya dilaksanakan dengan penuh kemeriahan, mulai dari pinggiran jalan, pusat keramaian, hingga gang desa dipenuhi dengan bendera, umbul-umbul serta ornamen berwarna merah putih.

Semua kalangan bergembira mulai dari anak-anak hingga orang dewasa memeriahkan lomba yang biasa dilakukan hingga ke tingkat RT, tentunya dengan membawa semangat persatuan dan kesatuan. Namun sedikit berbeda dengan bulan kemerdekaan tahun 2025 ini.

Diwarnai dengan gelombang demonstrasi yang dimulai pada 25 Agustus 2025, ini merupakan titik awal protes masyarakat terhadap beberapa kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, karena hampir setiap hari masyarakat disuguhkan dengan berita-berita maupun pernyataan dan tindakan blunder dari beberapa oknum anggota legislatif dan pemerintah yang memicu kemarahan masyarakat, tindakan tersebut dianggap tidak berempati dan tidak memahami situasi masyarakat.

Salah satu hal yang membuat masyarakat semakin bingung adalah pemerintah menerapkan efisiensi anggaran untuk mengurangi pemborosan negara dan mengalokasikan dananya pada program priorias namun tunjangan DPR yang beredar sangat fantastis nilainya, apalagi tunjangan rumah senilai Rp. 50.000.000 per bulan dan beberapa tunjangan-tunjangan lainnya yang mestinya bisa ditekan.

Padahal sebenarnya DPR memiliki rumah dinas didaerah Kalibata-Jakarta Selatan yang sebenarnya masih layak dan mungkin hanya butuh pemeliharaan dan sedikit renovasi bagian-bagian yang rusak. Masyarakat jelas marah akan hal ini, karena tengah kehidupan semakin sulit dan semakin terhimpit karena harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, beban pajak yang semakin berat, yang membuat kalangan menengah kebawah sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sehingga terjadilah demonstrasi oleh mahasiswa dan masyarakat pada 25 Agustus 2025 dan berlanjut hingga hari-hari berikutnya, gelombang unjuk rasa ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja namun juga di beberapa wilayah Indonesia lainya. Demonstrasi atau unjuk rasa merupakan sikap protes yang dilakukan banyak orang didepan umum.

Demonstrasi atau unjuk rasa ini merupakan hak konstitusional sebagai warga negara, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 28 menyatakan bahwa Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.

Diperkuat lagi pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum Pasal 9 Ayat 1 menyatakan bahwa penyampaian pendapat dimuka umum dapat dilaksanakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi.

Selain aturan mengenai demonstrasi ada pula standar operasional pelaksanaan (SOP) pengamanan demonstrasi bagi polisi, hal ini diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Secara umum, polisi memiliki tanggung jawab yang tertuang dalam pasal 9, diantaranya :
1.Memberikan pelayanan secara profesional
2.Menjunjung tinggi HAM
3.Menghargai asas legalitas
4.Menghargai prinsip Praduga tak bersalah
5.Menyelenggarakan pengamanan

Kemudian, terkait dengan penyelenggaraan pengamanan selama demonstrasi diatur juga dalam Pasal 18 yang mengatur tentang tujuan pengamanan ada aksi penyampaian pendapat di muka umum dilakukan untuk tiga hal utama yaitu :
1.Melindungi keamanan peserta aksi
2.Menjamin kebebasan menyampaikan pendapat tanpa diganggu pihak lain
3.Menjaga agar keamanan dan ketertiban umum tetap terpelihara.

Sangat disayangkan ini semua hanya sebuah teori yang tidak sesuai dengan realitas yang terjadi dilapangan, karena dorongan secara psikologi baik dari eksternal maupun situasional pada saat demonstrasi berlangsung, sehingga tak jarang berujung bentrok dengan aparat keamanan.

Salah satu faktornya adalah aspirasi yang tidak tersampaikan membuat perasaan tidak puas bagi para demonstran, atau masa yang tidak bisa dibubarkan karena aturan jam demonstrasi sudah melewati batas, belum lagi dibumbui dengan provokasi sehingga keadaan menjadi cheos yang berakibat menganggu ketertiba umum.

Eskalasi demonstrasi memuncak ketika Affan seorang driver ojek online dilindas rantis Brimob, peristiwa ini mendapatkan atensi besar dari publik, terutama dunia maya yang videonya sangat cepat tersebar, serta mengundang simpati publik sekaligus memantik kemarahan masyarakat Indonesia sehingga suasana semakin memanas diseluruh wilayah Indonesia.

Baca Juga :  Skandal PT Pembangunan Perumahan: Kasus Penipuan dan Utang Tunggakan Jadi Sorotan

Keesokan harinya demonstrasi mulai berubah haluan menjadi pembakaran gedung-gedung, fasilitas umum, dan masa mulai menargetkan rumah-rumah pejabat yang dianggap perilaku dan ucapannya menyakiti hati masyarakat, tak sampai disitu mulai menyebarnya provokasi, isu sara dan ujaran kebencian di sosial media yang membuat situasi semakin tidak terkendali.

Kendati demikian banyaknya muncul spekulasi ditengah masyarakat adanya kejanggalan pada aksi demonstrasi ini, karena seperti ada pihak yang sengaja memprovokasi dan menyusup dalam aksi demonstran terutama pada tindakan anarkis, ada kesan terorganisir dan sistematis serta dilakukan oleh orang-orang yang penuh persiapan dan profesional dari peralatan yang dibawanya.

Begitu yang ditangkap oleh video yang beredar di sosial media, gerakan ini dikhawatirkan mendelegitimasi aspirasi masyarakat dan berpotensi membuat aparat menjadi represif. Karena sejatinya demonstrasi masyarakat dan mahasiswa berlangsung damai, sangat berbeda dengan yang dilakukan oleh gerakan ini, yang sepertinya mulai bergerak dimalam hari.

Padahal pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia 7 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan Dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Pasal 7 Ayat 1 A menyatakan penyampaian pendapat dimuka umum ditempat terbuka antara pukul 06.00 s.d 18.00 waktu setempat.

Sampai sekarang setidaknya ada 10 orang korban jiwa dalam tragedi ini yang terdiri dari beberapa wilayah di Indonesia diantaranya :

  1. Affan Kurniawan di Jakarta
  2. Andika Lutfi Falah di Jakarta
  3. Rheza Sendy Pratama di Yogyakarta
  4. Sumari di Solo
  5. Saiful Akbar di Makassar
  6. Muhammad Akbar Basri di Makassar
  7. Sarina Wati di Makassar
  8. Rusdamdiansyah di Makassar
  9. Iko Juliant Junior di Semarang
  10. Septinus Sesa di Manokwari

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan pemerintah harus menjamin kasus 10 orang korban jiwa ini dapat diproses dengan menjunjung tinggi keadilan dan transparan bahkan bila perlu bentuk tim investigasi independen. Termasuk juga segera mengungkap provokator, pelaku penjarahan, pengrusakan fasilitas umum, dan gedung-gedung yang habis dibakar diseluruh wilayah Indonesia.

Saat ini pelaku yang melindas Affan sedang menjadi sorotan publik, karena melibatkan 7 orang anggota Brimob. Peristiwa ini bukan hanya soal kehilangan bagi para keluarga yang ditinggalkan namun sebagai momentum refleksi bagi semua pihak betapa pentingnya melaksanakan tugas sesuai dengan standar operasional pelaksanaan (SOP) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta saatnya memperbaiki tata kelola penanganan demonstrasi.

Untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap negara serta para pemimpinnya, proses penegakan hukum harus berjalan dengan cepat, terbuka, akuntabel, profesional, adil dan transparan, karena transparansi adalah kunci untuk meredakan keresahan masyarakat. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian dan pemerintah dapat dipulihkan.

Rasa empati dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang langsung meminta maaf kepada keluarga korban Affan dan turun langsung ke lokasi kejadian layak untuk diapresiasi, hal ini bentuk keseriusan Polri untuk menyelesaikan masalah ini.

Tragedi 10 orang korban jiwa ini juga menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperkuat kebijakan perlindungan, termasuk memberikan edukasi terkait mitigasi risiko, memperluas akses jaminan sosial, dan memastikan keselamatan masyarakat menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan publik.

Hal tersebut menjadi pengingat pentingnya tentang sistem perlindungan sosial bagi kelompok pekerja non-formal yang seringkali berada di ruang publik yang memiliki resiko besar menjadi korban ketika situasi demonstrasi memanas, serta evaluasi bagi pihak kepolisian untuk mentaati standar operasional pelaksanaan (SOP) pengendalian masa secara benar.

Penulis : Kirana Pungki Apsari, S.H., M.H. (Pemerhati Hukum)