Pintasan.co, Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025 mendatang.
Langkah ini diambil berdasarkan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang memang mengatur kenaikan PPN tersebut bertahap, dengan tarif 11 persen berlaku mulai 2022 dan 12 persen pada 2025.
Peningkatan tarif PPN ini mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan, meski sudah diatur dalam undang-undang.
Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini akan menambah beban masyarakat, yang saat ini sudah kesulitan menghadapi daya beli yang melemah.
Kalangan buruh, salah satunya, telah menyuarakan penolakan keras terhadap rencana tersebut. Presiden Partai Buruh dan KSPI, Said Iqbal, mengancam akan menggelar aksi mogok nasional melibatkan lima juta buruh jika pemerintah tetap melanjutkan rencana kenaikan PPN tanpa diimbangi dengan kenaikan upah.
“Jika kenaikan PPN ini tetap diteruskan tanpa adanya penyesuaian upah, kami akan melakukan mogok nasional,” katanya pada Selasa (19/11).
Selain buruh, penolakan terhadap kenaikan PPN juga bergema di kalangan warganet melalui petisi di media sosial.
Petisi tersebut mengkritik rencana pemerintah yang dianggap akan meningkatkan harga barang-barang kebutuhan pokok, sehingga membebani masyarakat yang daya belinya sudah tertekan.
“Kenaikan PPN ini akan langsung berdampak pada harga barang-barang pokok, dari sabun mandi hingga bahan bakar minyak (BBM). Daya beli masyarakat akan semakin menurun,” demikian pernyataan dalam petisi yang dibuat akun X @barengwarga.
Ekonom juga memberikan perhatian serius terhadap dampak kenaikan PPN ini. Analis senior Ronny P. Sasmita menjelaskan bahwa kebijakan ini bisa memperburuk daya beli masyarakat, yang akhirnya akan menurunkan konsumsi barang dan jasa.
Hal ini berisiko memengaruhi produksi perusahaan, yang mungkin harus mengurangi outputnya jika permintaan menurun.
Penurunan produksi berpotensi menyebabkan PHK massal dan mengurangi minat investasi, sehingga sulit bagi Indonesia mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan bahwa meskipun ada penolakan, kenaikan PPN sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Ia menegaskan bahwa APBN perlu dijaga kesehatannya agar tetap berfungsi sebagai alat penyeimbang ekonomi dalam situasi krisis global.
Sementara itu, Ketua Komisi XI DPR, Misbakhun, menegaskan bahwa keputusan tentang kenaikan PPN sepenuhnya berada di tangan pemerintah, karena sudah disepakati dalam undang-undang yang berlaku.