Pintasan.co, Jakarta – Petisi yang menentang rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 kini ramai diperbincangkan di kalangan warganet.
Mayoritas dari mereka menilai bahwa kenaikan ini akan memberikan beban berat kepada masyarakat, karena harga berbagai kebutuhan pokok diperkirakan akan meningkat.
Kondisi ekonomi masyarakat yang belum pulih, ditambah dengan tingginya tingkat pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK), semakin memperburuk situasi.
Petisi ini dibuat dan dibagikan oleh akun X @barengwarga pada Selasa, 19 November. Dalam cuitannya, akun tersebut meminta pemerintah untuk segera membatalkan rencana kenaikan PPN.
“Dampak dari kenaikan PPN ini akan langsung dirasakan oleh masyarakat, karena akan mempengaruhi harga barang-barang kebutuhan pokok. Jika kebijakan ini dibiarkan, harga barang mulai dari sabun mandi hingga bahan bakar minyak (BBM) akan ikut naik. Hal ini akan mengganggu daya beli masyarakat dan membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup,” tulis akun tersebut.
Menurut pantauan CNNIndonesia.com pada Kamis, 21 November pagi, petisi dengan judul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” tersebut telah mendapat tanda tangan sebanyak 2.808 orang.
Selain melalui petisi, warganet juga mengajak untuk menerapkan gaya hidup minimalis sebagai bentuk protes terhadap kenaikan PPN.
Dalam gerakan ini, masyarakat diimbau untuk mengurangi konsumsi barang-barang yang terpengaruh oleh kenaikan pajak guna mengurangi beban yang ditanggung.
Pasalnya, tingkat konsumsi masyarakat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan PPN ini sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang menetapkan tarif PPN sebesar 11 persen mulai 2022 dan akan naik menjadi 12 persen pada 2025.
“Tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025,” bunyi Pasal 7 ayat 2 UU tersebut.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menegaskan bahwa kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 tetap sesuai dengan amanat UU HPP.
Ia juga menambahkan bahwa hingga saat ini, belum ada pembicaraan mengenai penundaan pelaksanaan kenaikan pajak tersebut.
Meski ada perdebatan mengenai dampak kenaikan pajak di tengah melemahnya daya beli masyarakat, Sri Mulyani menegaskan pentingnya menjaga kesehatan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
APBN, sebagai instrumen untuk merespons guncangan ekonomi global, perlu dijaga agar tetap dapat berfungsi dengan baik.
“APBN harus tetap dijaga agar dapat berperan sebagai penyeimbang dalam menghadapi krisis finansial global. Prinsip countercyclical harus tetap diperhatikan,” ungkapnya dalam Rapat Kerja Komisi XI pada 13 November lalu.