Pintasan.co, Jakarta – Pemandangan di ruang gawat darurat (IGD) seringkali menjadi saksi bisu perjuangan hidup dan mati. Sebagai seorang dokter, saya sering menyaksikan situasi yang amat memilukan. Saya teringat pada seorang kepala keluarga, terbaring lemas dengan kondisi medis mendesak, didampingi istrinya yang panik. Hal ini terjadi di balik pintu gawat darurat

Ketika tim kami mulai menanyakan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), istrinya tertunduk lesu. “Maaf Dok, sudah lama tidak bayar, kartunya tidak aktif,” lirihnya. Di tengah situasi gawat darurat, ketidakaktifan jaminan sosial karena tunggakan iuran seketika menjadi tembok tebal yang menghalangi akses pengobatan optimal.

Mereka terpaksa memilih antara biaya darurat yang mencekik atau nyawa yang terancam. Kisah-kisah nyata seperti inilah yang menegaskan bahwa bagi rakyat kecil, jaminan kesehatan adalah urat nadi kehidupan, bukan sekadar urusan administrasi.

Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi mengapa rakyat kecil menunggak, hal ini berdampak pada terjadinya dilema prioritas dan kesadaran rendah. Masalah utama tingginya tunggakan iuran BPJS Kesehatan pada segmen peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) adalah kesulitan ekonomi.

Bagi pekerja informal atau masyarakat berpenghasilan rendah, uang receh harian harus diprioritaskan untuk kebutuhan yang dianggap lebih mendesak: makan, biaya kontrakan, atau pendidikan anak. Iuran bulanan BPJS Kesehatan, meskipun nilainya relatif kecil, kerap dianggap sebagai pengeluaran yang bisa ditunda.

Situasi ini diperparah dengan kurangnya kesadaran kesehatan (preventif); mereka cenderung baru mencari pertolongan atau mengaktifkan kembali kartu saat penyakit sudah parah, membuat tunggakan terlanjur menumpuk. Akibatnya, jutaan peserta menjadi nonaktif dan terputus dari perlindungan negara.

Di tengah tantangan tersebut, program JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan telah menunjukkan capaian luar biasa. Data terakhir (per Agustus 2025) menunjukkan lebih dari 281 juta jiwa penduduk Indonesia telah terdaftar sebagai peserta JKN. Angka ini mencakup mayoritas populasi, dan sebagian besar di antaranya adalah peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya sepenuhnya ditanggung oleh APBN dan APBD.

Baca Juga :  Indonesia Catat Rekor Tertinggi Pengajuan Hak Paten Global, Ungguli Amerika dan China

Keputusan Presiden untuk menghapus tunggakan iuran JKN bagi peserta tak mampu senilai total Rp 7,69 triliun adalah bukti nyata penegakan amanat Undang-Undang Dasar dan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kebijakan ini secara langsung berpihak kepada rakyat kecil.

Penghapusan tunggakan ini akan membersihkan status jutaan peserta nonaktif, memungkinkan mereka untuk kembali terlindungi. Langkah ini bukan hanya solusi finansial, melainkan juga afirmasi bahwa negara tidak akan membiarkan warganya terpuruk dalam kesulitan saat membutuhkan layanan kesehatan.

Penghapusan tunggakan Rp 7,69 Triliun ini harus menjadi momentum syukur dan evaluasi bagi seluruh rakyat. Ini adalah kesempatan baru dari pemerintah agar setiap warga bisa memulai kembali dengan status kepesertaan yang aktif. Namun, rasa syukur ini harus diwujudkan dengan tanggung jawab, yakni dengan mengganti gaya hidup kesehatan dari pola kuratif (pengobatan) ke pola preventif dan promotif (pencegahan).

Masyarakat didorong untuk rutin melakukan deteksi dini, menjalankan pola hidup sehat, dan memanfaatkan fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) untuk pencegahan, bukan hanya saat sudah sakit parah. Dengan adanya pemutihan tunggakan, mari kita bersama-sama mewujudkan Indonesia Sehat dan Lebih Produktif, di mana beban sakit dan biaya berobat dapat diminimalisir. Kebijakan ini adalah langkah awal; partisipasi aktif dan kesadaran kesehatan dari rakyat adalah kunci keberlanjutan.

Penulis: dr. Haerul Anwar (Praktisi Kesehatan)