Pintasan.co, Jakarta – Jabatan dalam birokrasi bukan sekedar posisi, tetapi amanah. Lalu mengapa hari ini kita menyaksikan semakin banyak pejabat publik yang memegang dua bahkan lebih peran strategis sekaligus? Apakah ini bentuk kepercayaan, atau justru krisis dalam sistem?
Per Juli 2025, data konkret terkait rangkap jabatan di kalangan ASN memang belum sepenuhnya terang-benderang. Tak ada rekapitulasi nasional yang resmi dirilis pemerintah sebagai rujukan publik untuk memetakan seberapa banyak ASN yang merangkap jabatan, baik di lingkup struktural maupun fungsional.
Namun, kenyataan di lapangan dan sejumlah pemberitaan menunjukkan bahwa praktik ini bukan sekedar kemungkinan, melainkan realita yang kerap terjadi secara sistematik dan berulang.
Fenomena rangkap jabatan yang terjadi ini bukanlah hal baru yang terjadi dalam dunia pemerintahan. Berdasarkan informasi yang di dapat dari media Kompas.com, fenomena ini sudah terjadi sejak lama. Celah utama dari kondisi ini berasal dari lemahnya regulasi serta bias nya aturan terkait.
Peraturan MenPANRB No 17 Tahun 2024 yang mengatur larangan rangkap jabatan memang ada, namun belum memberikan definisi yang jelas dan tegas tentang batas-batas jabatan yang boleh dan tidak boleh dirangkap.
Akibatnya, banyak ASN terutama yang menduduki jabatan strategis bisa merangkap posisi sebagai Plt. (pelaksana tugas) atau merangkap jabatan fungsional lain, bahkan di luar instansinya, tanpa ada pembatasan waktu atau evaluasi kinerja yang terukur.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yani (2025) fenomena ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, menimbulkan ketidakpastian hukum, serta penurunan profesionalisme dalam birokrasi pemerintahan, karena beban kerja menjadi tidak seimbang dan fokus tugas utama terpecah.
Selain itu, praktik rangkap jabatan dapat menciptakan ketimpangan peluang karier di lingkungan ASN sendiri. Pegawai yang tidak merangkap jabatan bisa merasa terhambat untuk naik jenjang karena kursi-kursi jabatan diisi berulang oleh individu yang sama.
Oleh karena itu, dibutuhkan penyusunan regulasi yang lebih spesifik dan tegas mengenai larangan rangkap jabatan ASN, termasuk batasan yang jelas tentang jenis jabatan yang boleh dirangkap, durasi maksimum, serta mekanisme evaluasi berkala. Selanjutnya, peningkatan fungsi pengawasan Internal dan Eksternal guna memantau dan menindak dugaan penyalahgunaan kewenangan akibat rangkap jabatan.
Rangkap jabatan ASN bukan sekedar isu administratif, tetapi merupakan persoalan tata kelola dan integritas birokrasi. Selama celah regulasi masih dibiarkan, dan praktik ini dianggap “biasa saja”, maka reformasi birokrasi akan sulit bergerak maju. Kini saatnya pemerintah menata ulang sistem jabatan secara transparan, adil, dan berkelanjutan.
Opini : Ismi Imani, S.Pd., M.Pd. (CPNS Lembaga Administrasi Negara).