Pintasan.co, Jakarta – Kemarin malam, niat saya hanya ingin mencari angin, sekadar menyegarkan kepala dari rutinitas harian.
Tapi angin malam justru membawa saya pada obrolan yang tak terduga, bersama seorang sahabat lama di warung kopi langganan.
Obrolan yang awalnya hanya dihiasi gelak tawa, canda ringan, dan gojlokan khas pertemuan lama, perlahan berubah arah.
Dari percakapan tanpa tema, kami terseret masuk ke pembahasan yang lebih dalam tentang generasi sekarang, tentang anak-anak Gen Z dan Alpha yang tumbuh di tengah arus digital yang deras dan tak kenal jeda.
Obrolan kami pun menyentuh soal pendidikan. Kami berbicara tentang sains ilmu yang katanya fondasi peradaban, pendorong kemajuan umat manusia.
Namun kini, di banyak ruang kelas, sains terasa sunyi. Sains diajarkan seperti cerita lama dibacakan dari buku, dihafalkan menjelang ujian, lalu dilupakan begitu saja.
Tidak ada percobaan yang memantik rasa penasaran, tidak ada eksperimen yang membangkitkan antusiasme, tidak ada letupan ingin tahu yang seharusnya menjadi denyut nadi pembelajaran sains.
Praktikum, yang sejatinya adalah jantung dari sains, justru mulai kehilangan detaknya. Padahal, praktikum adalah pelita dalam lorong gelap teori.
Ia adalah panggung tempat siswa bisa menyentuh, melihat, dan merasakan ilmu bekerja. Tanpa praktikum, sains kehilangan nyawanya tinggal angka dan istilah yang mengapung di papan tulis, tak pernah benar-benar membumi, nyata dan berdampak.
Penelitian Nuai dan Nurkamiden (2023) menunjukkan bahwa siswa yang melakukan praktikum secara konsisten memiliki kemampuan proses sains yang jauh lebih baik: mereka mampu mengamati, menganalisis, hingga menarik kesimpulan dari kenyataan, bukan sekadar rumus.
Sayangnya, banyak guru dan sekolah terjebak dalam ritme pembelajaran yang kering terbatas waktu, fasilitas, dan kadang juga kemauan.
Dampaknya terasa jelas. Minat siswa terhadap sains memudar seperti warna tua yang terkena matahari.
Dr. Wiwit Suryanto dari UGM bahkan mengungkapkan bahwa beberapa program studi sains di perguruan tinggi harus ditutup karena kekurangan peminat (Detik.com, 2023).
Ini bukan hanya soal angka, tapi soal harapan yang memudar, mimpi yang tak sempat tumbuh.Jika kondisi ini dibiarkan, kita tengah menanam benih kegagalan di ladang masa depan.
Bonus demografi yang seharusnya menjadi musim panen bisa berubah jadi badai, jika generasi mudanya tak siap menghadapi tantangan dunia berbasis sains dan teknologi.
Bagaimana kita bisa mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045 jika dari sekarang pun anak-anak kita tak kenal dekat dengan sains? Sistem pendidikan kita butuh perubahan, bukan tambal sulam.
Harus ada langkah radikal untuk menghidupkan kembali sains di ruang kelas. Praktikum tak harus mewah, tapi harus ada. Laboratorium yang ada harus digunakan, tak dibiarkan berdebu.
Guru harus keluar dari zona nyaman, bukan hanya belajar perangkat ajar. Praktikum bisa dilakukan di halaman sekolah, di pinggir sawah, di balik kaca pembesar atau lewat layar animasi digital.
Teknologi adalah sekutu, bukan pengganti. Video animasi interaktif, simulasi virtual, dan platform eksperimen daring bisa menjadi jembatan ketika alat terbatas.
Teknologi digital dalam pendidikan telah membuka akses lebih luas terhadap sumber belajar, memfasilitasi komunikasi yang lebih efektif, dan mendorong pengembangan literasi digital yang esensial (Faustyna, 2024) dengan cara yang menyenangkan dan visual.
Guru tidak harus menciptakan sendiri media pembelajaran digital, namun penting untuk bisa memanfaatkan beragam sumber pembelajaran yang telah tersedia dan begitu melimpah di ranah digital.
Kita tidak bicara tentang keajaiban. Kita bicara tentang tekad dan keseriusan mengelola pendidikan sebagai investasi masa depan.
Kita butuh keputusan yang cerdas, arah anggaran yang tepat, dan keberanian untuk berkata: cukup sudah sains diperlakukan seperti dongeng.
Sains harus kembali hidup di sekolah. Ia harus hadir bukan hanya dalam buku, tapi dalam percobaan sederhana, tanya jawab seru, dan eksperimen kecil yang membangkitkan rasa ingin tahu.
Karena tanpa itu, kita bukan hanya kehilangan siswa yang suka sains kita kehilangan generasi yang berpikir kritis, kreatif, dan siap menciptakan masa depan.
Penulis: Afrijal, M.Pd. (Dosen STKIP Muhammadiyah OKU Timur).