Pintasan.co, Jakarta – Ketua Umum Cendikia Muda Nusantara (CMN) mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi sejumlah undang-undang strategis untuk mencegah kekosongan jabatan DPRD di seluruh Indonesia implikasi dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Putusan tersebut memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah, yang berdampak pada penundaan pemilihan DPRD hingga dua tahun setelah pelantikan Presiden dan DPR RI. Akibatnya, masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 yang semula berakhir pada 2029 perlu diperpanjang hingga 2031.
Namun hingga kini belum tersedia dasar hukum yang memadai untuk mengatur perpanjangan masa jabatan tersebut. Undang-Undang Pemilu, UU Pemerintahan Daerah (UU Pemda), dan UU MD3 belum memberikan ketentuan eksplisit terkait skema perpanjangan jabatan DPRD dalam konteks pemilu daerah yang dijadwalkan ulang.
“Kalau kekosongan hukum ini tidak diantisipasi segera, kita bisa menghadapi krisis legislasi daerah. Perpanjangan jabatan tidak bisa hanya mengandalkan tafsir politis. Harus ada dasar hukum yang eksplisit dalam bentuk amandemen atau revisi setidaknya tiga undang-undang tersebut,” tegas Afan.
CMN mendorong pemerintah dan DPR membentuk panitia kerja khusus untuk segera menyusun regulasi transisional yang mengatur masa jabatan DPRD, menyelaraskan jadwal pemilu nasional dan daerah, serta menyesuaikan seluruh aspek kelembagaan dan teknis yang terdampak oleh pemisahan jadwal pemilu.
“Menurut kami, hal ini menjadi bagian penting dari tanggung jawab negara dalam menjaga keberlanjutan pemerintahan daerah dan kepastian hukum dalam sistem demokrasi” ujar Afan.
Lebih lanjut, Afan memandang bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 secara substansi merupakan langkah progresif dalam memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia. Mahkamah menilai bahwa pemilu serentak lima kotak, yakni Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang selama ini dilaksanakan dalam satu hari, telah menimbulkan berbagai persoalan serius baik dari sisi efektivitas politik, keterwakilan, hingga partisipasi pemilih.
Dengan menetapkan pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dilaksanakan lebih dahulu dan pemilu daerah (Pilkada serta DPRD) dua tahun kemudian, MK memperkuat prinsip kedaulatan rakyat melalui proses pemilihan yang lebih rasional, berjenjang, dan terukur.
“Putusan MK ini menyentuh akar persoalan pemilu kita. Ini bukan hanya soal perbaikan teknis, tetapi penataan sistemik yang memperkuat demokrasi, meringankan penyelenggara, dan sekaligus menuntut kesiapan hukum dalam mengatur masa transisi, terutama soal jabatan DPRD di masa jeda dua tahun,” ujar Afan.
Dalam pandangan CMN, model pemilu dua tahap seperti yang ditegaskan MK merupakan pendekatan konstitusional yang membuka ruang perbaikan kelembagaan partai politik, peningkatan kualitas pemilih, dan optimalisasi proses kaderisasi. Mekanisme ini juga memperjelas orientasi pembangunan antara pusat dan daerah yang selama ini kerap tumpang tindih akibat siklus elektoral yang terlalu padat.
Dari sisi penyelenggaraan, CMN menilai pemisahan jadwal pemilu juga memberi manfaat besar bagi efektivitas kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengalaman dua pemilu terakhir menunjukkan bahwa penyelenggaraan pemilu lima kotak dalam satu hari telah membebani KPU secara luar biasa baik dari sisi logistik, akurasi data pemilih, distribusi surat suara, hingga pengawasan rekapitulasi.
Dengan adanya pemisahan pemilu nasional dan daerah, penyelenggara akan memiliki ruang dan waktu yang cukup untuk menyusun tahapan yang lebih terukur, meningkatkan akurasi dan transparansi, serta meminimalisasi potensi konflik atau kesalahan administratif.
“Ini bukan hanya tentang menyederhanakan beban teknis. Namun ini lebih kepada memberikan ruang profesionalisme bagi KPU untuk bekerja lebih akurat dan lebih terencana,” imbuh Afan.
Ia menambahkan bahwa pemisahan ini juga bisa mendorong efisiensi anggaran dan peningkatan kualitas partisipasi publik dalam proses demokrasi.
CMN menegaskan bahwa implementasi putusan MK tidak bisa berjalan efektif tanpa pembaruan hukum yang sistematis. Oleh karena itu, CMN menyerukan keterlibatan aktif masyarakat sipil untuk mengawal agenda revisi UU Pemilu, UU MD3, dan UU Pemda agar tidak tertunda.
“Kita tidak bisa berhenti di putusan. Ini awal dari kerja besar untuk merancang sistem pemilu yang demokratis, adil, dan berkelanjutan. Semua pihak, termasuk masyarakat sipil, harus ikut mengawalnya agar momentum konstitusional ini tidak disia-siakan,” pungkas Afan.