Pintasan.co, Jakarta – Masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 resmi berakhir pada Senin, 30 September 2024. Penutupan ini ditandai dengan Rapat Paripurna DPR dalam agenda Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2024-2025. Meski tugas legislasi telah dijalankan selama lima tahun terakhir, banyak pihak menilai kinerja DPR periode ini jauh dari memuaskan. Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, dari sekian banyak Rancangan Undang-Undang (RUU) dalam daftar Prolegnas, DPR periode ini hanya mampu menyelesaikan 27 RUU, yang berarti hanya 10,26 persen dari total target.

“Prosentase ini tentu sangat rendah jika melihat besarnya fasilitas dan dukungan yang diberikan kepada para anggota DPR. Dengan kinerja sebesar ini, terlihat betapa minimnya kepedulian mereka terhadap kebutuhan rakyat yang seharusnya mereka wakili,” kata Lucius, Minggu (29/9/2024).

Lucius juga mengkritisi terhambatnya sejumlah RUU penting yang seharusnya menjadi prioritas. Ia menyoroti bahwa banyak RUU dalam Prolegnas yang justru tertunda karena DPR menerima “pesanan” undang-undang baru yang lebih diinginkan oleh kalangan elite politik. Hal ini membuat sejumlah RUU penting yang sudah lama diperjuangkan, terlupakan atau bahkan diabaikan.

RUU Perampasan Aset: Harapan Pemberantasan Korupsi Tertunda

Salah satu RUU yang menjadi perhatian utama adalah RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Meskipun pemerintah telah mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR pada 4 Mei 2023 untuk memulai pembahasan, undang-undang ini tidak kunjung disahkan hingga akhir masa jabatan DPR. Padahal, Presiden Joko Widodo sudah berkali-kali mendesak agar RUU ini segera dibahas, karena akan menjadi instrumen penting dalam pemberantasan korupsi.

Anies Baswedan, salah satu kandidat Pilpres 2024, juga sempat menyoroti pentingnya pengesahan RUU ini sebagai bagian dari upaya memiskinkan para pelaku korupsi. Namun, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan bahwa waktu yang tersisa sudah terlalu pendek untuk menyelesaikan pembahasan RUU tersebut, dan menyerahkannya kepada anggota DPR periode berikutnya.

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga: Sejak 2004 Belum Terselesaikan

Tidak hanya RUU Perampasan Aset, DPR periode ini juga gagal mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), yang sebenarnya telah diusulkan sejak 2004. Nasib jutaan pekerja rumah tangga (PRT) yang membutuhkan perlindungan hukum masih belum menemui kejelasan. Badan Legislasi DPR sejatinya telah menyelesaikan pembahasan RUU ini pada Juni 2020, namun pengesahannya terus tertunda hingga akhir periode.

Baca Juga :  Shell Indonesia Bantah Rencana Penutupan Seluruh SPBU di Tanah Air

Penundaan ini mengundang banyak kritik, terutama dari kalangan masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia yang mendesak perlindungan bagi para PRT dari eksploitasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menyuarakan keprihatinan atas banyaknya laporan pelanggaran hak PRT, mulai dari kekerasan fisik, pelecehan seksual, hingga perdagangan orang.

“DPR mampu mengesahkan beberapa undang-undang lain dalam waktu singkat, bahkan hitungan jam. Tapi, mengapa untuk RUU PPRT, mereka terus menunda?” ujar Luluk Nur Hamidah, anggota DPR dari Fraksi PKB.

RUU Masyarakat Hukum Adat: Perjuangan Panjang yang Terabaikan

RUU lainnya yang juga tersendat adalah RUU Masyarakat Hukum Adat. Padahal, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat telah menjadi perhatian sejak lama, mengingat masih banyak suku dan komunitas adat yang belum diakui secara resmi oleh negara. Salah satu contoh adalah ribuan masyarakat adat di Kalimantan Timur yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan karenanya tidak bisa menggunakan hak pilih mereka dalam pemilu.

AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) mencatat bahwa sejak tahun 2019, sekitar 1,5 juta masyarakat adat belum memiliki KTP elektronik karena wilayah adat mereka berada di kawasan hutan lindung atau kawasan yang diklaim oleh pemerintah. “Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat sangat penting untuk memberikan perlindungan hukum dan hak asasi bagi masyarakat adat,” ujar Abdi Akbar, Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat dari PB AMAN.

RUU ini sebenarnya telah lama menjadi prioritas di dalam program legislasi nasional, namun belum ada kejelasan kapan akan disahkan. Gugatan masyarakat adat terhadap presiden dan DPR atas penundaan pengesahan RUU ini bahkan sempat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), meski akhirnya ditolak.

Lucius Karus menilai, kinerja legislasi DPR 2019-2024 yang hanya mencapai 10 persen dari target membuktikan bahwa lembaga legislatif ini lebih banyak melayani kepentingan elite dan penguasa ketimbang rakyat. RUU-RUU seperti Kementerian Negara, Wantimpres, Polri, dan TNI, yang cenderung lebih menguntungkan kelompok elite, diselesaikan dengan cepat, sementara RUU yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat luas seperti RUU PPRT, Perampasan Aset, dan Masyarakat Hukum Adat justru tertunda.

Dengan berakhirnya masa jabatan, pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah DPR periode selanjutnya mampu memperbaiki kinerja ini, atau apakah kepentingan rakyat akan kembali terpinggirkan oleh agenda-agenda politik elite.