Pintasan.co, Balikpapan – Kasus kerusakan ratusan kendaraan usai mengisi BBM di Balikpapan menjadi sorotan tajam publik. Data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kalimantan Timur menyebut lebih dari 600 warga terdampak. Isu ini mencuat bukan hanya karena jumlah korban, tetapi karena lokasinya: Balikpapan, jantung industri minyak nasional. Publik bertanya-tanya, bagaimana bisa kualitas BBM di kota minyak justru bermasalah?
Masalah tidak berhenti di mutu BBM. Kelangkaan Pertamax dan antrean panjang di SPBU memperkuat keresahan masyarakat. Walau pasokan tambahan telah dikirim dan bengkel layanan disediakan, ketegangan belum reda. Masyarakat butuh penjelasan lebih jujur dan menyeluruh. Saat warga mulai meragukan kualitas dan distribusi BBM, kepercayaan yang selama ini dibangun pelan-pelan bisa goyah.
Direktur Gagas Nusantara, menyampaikan bahwa ini adalah momentum penting bagi Pertamina untuk melakukan refleksi menyeluruh terhadap tata kelola distribusi energi.
“Bukan saatnya mencari kambing hitam. Kita butuh langkah perbaikan yang nyata dan menyentuh akar masalah,” kata Romadhon Jasn dalam keterangannya, Rabu (21/5/2025).
Ia menyarankan investigasi terbuka dan komunikasi aktif agar publik mendapat kejelasan dan tidak terjebak dalam spekulasi.
Romadhon memahami bahwa distribusi BBM melibatkan rantai logistik dan teknologi yang kompleks. Namun ia menegaskan bahwa kesalahan dalam mutu BBM—yang berdampak langsung pada masyarakat—harus dijadikan prioritas utama untuk diperbaiki.
“Pertamina punya sumber daya dan pengalaman. Kami yakin, bila ada kemauan kuat, insiden ini bisa menjadi titik balik perbaikan nasional,” ucapnya.
Langkah-langkah teknis seperti pemeriksaan BBM, pengiriman pasokan tambahan, hingga layanan perbaikan kendaraan tentu perlu diapresiasi. Namun, menurut Romadhon, masyarakat juga menanti jaminan keberlanjutan. Apakah sistem pengawasan mutu akan diperkuat? Apakah koordinasi dengan pemerintah daerah akan dibuka lebih luas?
Gagas Nusantara mendorong Pertamina agar lebih proaktif menggandeng pemangku kepentingan lokal. Terbuka pada pengawasan publik bukanlah kelemahan, melainkan bentuk tanggung jawab di era keterbukaan informasi.
“Kejelasan dan komunikasi adalah dua kunci agar krisis seperti ini tidak berubah menjadi krisis kepercayaan,” kata Romadhon.
Ia juga menilai pentingnya pendekatan yang humanis dari Pertamina. Bagi warga yang terdampak, ini bukan hanya soal bahan bakar, tetapi juga soal kerugian ekonomi dan rasa aman dalam konsumsi energi sehari-hari. Respons cepat dan empatik akan jauh lebih bermakna ketimbang penjelasan teknis yang sulit dipahami publik.
Sebagai BUMN strategis, Pertamina tentu tidak luput dari tantangan. Namun justru di tengah ujian seperti inilah kualitas kepemimpinan dan komitmen diuji.
“Kami percaya, jika ada keberanian untuk berbenah, Pertamina bisa menjadi perusahaan yang makin dipercaya rakyat,” tutup Romadhon.
Kejadian di Balikpapan bukan akhir cerita, melainkan awal perubahan. Dari krisis, bisa lahir kepercayaan baru, asal ditangani dengan transparansi, ketulusan, dan langkah nyata.