Pintasan.co – Lebaran atau Idulfitri adalah momen yang penuh suka cita bagi umat Islam di seluruh dunia. Setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan, umat Islam merayakan kemenangan spiritual dengan saling memaafkan, bersilaturahmi, dan berbagi kebahagiaan. Namun, di balik kemeriahan tersebut, sering kali muncul fenomena konsumsi berlebihan, mulai dari belanja pakaian baru, makanan berlimpah, hingga kebutuhan rumah tangga yang terkadang melebihi batas.
Fenomena Konsumerisme Saat Lebaran
Tak bisa dipungkiri, momen Lebaran kerap dijadikan ajang untuk menunjukkan pencapaian materi. Mal-mal dipenuhi pembeli, makanan khas Lebaran disiapkan dalam jumlah besar, dan tak jarang barang-barang konsumtif dibeli bukan karena kebutuhan, melainkan demi gengsi. Fenomena ini mencerminkan gaya hidup konsumtif yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Padahal, Ramadhan sebagai bulan pembinaan diri, seharusnya membentuk pribadi yang lebih sederhana, peka terhadap penderitaan orang lain, dan tidak berlebihan dalam menggunakan harta.
Ajaran Islam tentang Kesederhanaan
Islam sejak awal mengajarkan prinsip hidup sederhana dan tidak berlebihan-lebihan (israf). Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَاٰتِ ذَا الۡقُرۡبٰى حَقَّهٗ وَالۡمِسۡكِيۡنَ وَابۡنَ السَّبِيۡلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيۡرًا ٢٦
“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
اِنَّ الۡمُبَذِّرِيۡنَ كَانُوۡۤا اِخۡوَانَ الشَّيٰطِيۡنِ ؕ وَكَانَ الشَّيۡطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوۡرًا ٢٧
“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Ayat ini menegaskan bahwa pemborosan adalah sikap tercela yang disejajarkan dengan perilaku setan. Kesederhanaan bukan berarti hidup dalam kekurangan, tetapi menggunakan harta secara bijak, sesuai kebutuhan, dan tidak memaksakan diri.
Nabi Muhammad SAW juga memberikan teladan tentang hidup sederhana, meskipun ia memiliki kesempatan untuk hidup mewah. Dalam banyak sejarah, beliau selalu memilih yang cukup, menolak berlebihan dalam berpakaian maupun makanan.
Refleksi Momentum
Lebaran seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar euforia konsumsi. Idulfitri berarti kembali kepada kesucian, termasuk menyucikan diri dari hawa nafsu duniawi seperti kerakusan dan pamer harta. Justru momen ini adalah waktu yang tepat untuk mempererat kepedulian sosial dengan berbagi, bukan berfoya-foya.
Zakat fitrah dan sedekah menjadi contoh nyata bagaimana Islam mengarahkan umatnya untuk peduli dan tidak individualistik. Dengan memberi kepada yang membutuhkan, kita mengurangi kesejahteraan sosial dan memperkuat solidaritas umat.
Lebaran bukanlah pesta konsumsi, melainkan perayaan spiritual yang harus dijalani dengan kebersamaan, kebersamaan, dan kepedulian. Islam mengajarkan bahwa keberkahan bukan datang dari banyaknya harta yang dihabiskan, tetapi dari hati yang lapang, niat yang ikhlas, dan amal yang bermanfaat bagi sesama.
Mari rayakan Lebaran dengan penuh makna—tidak berlebihan, tetapi dengan bersyukur dan berbagi.