Pintasan.co, Jakarta – Kerusakan lingkungan di Indonesia merupakan isu serius yang menjadi perhatian banyak pihak. Secara umum, masyarakat berpendapat bahwa tanggung jawab atas kerusakan ini tidak hanya berada di tangan pemerintah, tetapi juga melibatkan pelaku industri dan masyarakat luas.
Banyak yang meyakini bahwa lemahnya penegakan hukum dan kurangnya pengawasan terhadap aktivitas eksploitasi sumber daya alam menjadi penyebab utama kerusakan hutan, pencemaran air, dan degradasi lahan.
Di sisi lain, perilaku masyarakat yang kurang peduli terhadap lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan dan menggunakan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan, juga turut memperparah kondisi ini. Banyak pihak menilai bahwa kerusakan lingkungan di Indonesia mencerminkan ketidakseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan ekologis.
Pandangan masyarakat menunjukkan bahwa berbagai bencana seperti banjir, longsor, dan kebakaran hutan tidak terjadi secara alami semata, melainkan dipicu oleh aktivitas manusia seperti deforestasi, alih fungsi lahan, serta pertambangan yang tidak terkendali. Hal ini mencerminkan lemahnya pengawasan dan perencanaan tata ruang, yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Kerusakan alam yang terjadi di Papua dan Raja Ampat mencerminkan tantangan besar dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan.
Di Papua, deforestasi yang terjadi secara masif dalam dua dekade terakhir menunjukkan betapa cepatnya hutan adat menghilang akibat ekspansi industri, terutama perkebunan dan pertambangan. Hilangnya hutan ini bukan hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga mengganggu keberlangsungan hidup masyarakat adat yang selama ini menggantungkan hidup pada sumber daya alam tersebut.
Selain itu, aktivitas pertambangan emas dan nikel turut memperburuk kualitas lingkungan dengan mencemari sungai dan laut yang menjadi sumber air bersih dan kehidupan hayati masyarakat setempat.
Kerusakan hutan mangrove di Teluk Bintuni menambah kompleksitas persoalan, karena ekosistem tersebut merupakan benteng alami terhadap abrasi dan rumah bagi spesies endemik.
Sementara itu, Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai kawasan konservasi laut dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, kini menghadapi kerentanan yang meningkat akibat pemanasan global dan tekanan dari aktivitas manusia.
Pemutihan terumbu karang akibat naiknya suhu laut telah merusak sebagian besar ekosistem bawah laut, sementara praktik penangkapan ikan yang merusak serta lonjakan pariwisata yang tak terkendali mempercepat degradasi lingkungan.
Ketidaksiapan dalam mengelola pertumbuhan wisata, seperti kurangnya edukasi bagi penyelam dan tidak adanya regulasi ketat terhadap jalur kapal, semakin memperbesar risiko kerusakan.
Kondisi ini mengindikasikan pentingnya pendekatan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat adat, dan sektor swasta dalam merancang strategi konservasi berbasis kearifan lokal dan tata kelola berkelanjutan yang konkret.
Tanggung jawab atas krisis lingkungan ini tidak hanya terletak pada pemerintah pusat dan daerah, tetapi juga pada pelaku industri dan masyarakat itu sendiri.
Banyak yang beranggapan bahwa pengelolaan sampah dan polusi plastik yang tidak optimal, serta minimnya perlindungan terhadap aktivis lingkungan, memperparah kondisi yang sudah genting.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran kolektif dan komitmen lintas sektor untuk mengatasi berbagai tantangan lingkungan demi menjaga keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Penulis : Umi Hanifah Content Writer Pintasan.co