Pintasan.coEnergi adalah denyut jantung bangsa. Indonesia, dengan limpahan sinar matahari, angin, dan panas bumi, punya segala modal untuk menjadi raksasa energi dunia. Tapi, kenyataan pahit menatap kita: impor BBM masih merajalela, kilang tua terengah-engah, dan dunia sudah melesat menuju energi bersih.

Di tengah tantangan ini, generasi muda muncul sebagai harapan. Mereka bukan sekadar pewaris masa depan, tapi penggerak perubahan. Bersama Pertamina, perusahaan energi nasional kita, anak muda bisa membawa Indonesia ke era energi yang berkelanjutan dan mandiri.

Lihat gambaran energi kita hari ini. Pertamina menjaga roda ekonomi tetap berputar, menyediakan bahan bakar untuk jutaan kendaraan dan rumah tangga. Namun, data berbicara keras: kita mengimpor lebih dari 300 ribu barel BBM per hari karena kilang domestik tak cukup mumpuni.

Hal ini bukan cuma soal angka, tapi tentang kemandirian yang belum kita raih. Generasi muda tak boleh diam. Mereka harus masuk ke dalam sistem, mendukung Pertamina dengan ide-ide cerdas, dan memastikan perusahaan ini jadi tulang punggung energi masa depan.

Dunia tak lagi sama. Jerman menghasilkan listrik dari angin, Jepang berinovasi dengan hidrogen, sementara kita punya potensi 207 gigawatt energi terbarukan yang baru terpakai 12 gigawatt. Teknologi hijau panel surya, turbin angin, baterai modern bukan barang mewah lagi, tapi kebutuhan mendesak.

Generasi muda harus sadar mendukung energi baru terbarukan (EBT) bukan cuma soal lingkungan, tapi soal martabat bangsa. Mereka adalah generasi yang bisa mengakhiri ketergantungan pada fosil dan membawa Indonesia berdiri tegak di panggung global.

Pertamina sudah melangkah. Dengan kapasitas geothermal terbesar kedua di dunia dan produksi biofuel B30, perusahaan ini menunjukkan komitmen pada energi hijau. Tapi, langkah itu harus dipercepat. Generasi muda bisa jadi katalisnya.

Bayangkan mereka merancang aplikasi untuk memetakan potensi surya di desa-desa atau mengembangkan alat sederhana yang mengubah limbah kelapa sawit jadi bahan bakar. Pertamina bukan lawan, tapi mitra yang butuh darah muda untuk berlari lebih kencang menuju masa depan.

Pendidikan adalah fondasi. Kampus harus berhenti mencetak lulusan biasa dan mulai melahirkan inovator EBT. Fakultas teknik bisa punya laboratorium surya, mahasiswa kimia bisa riset biofuel dari alga. Pertamina bisa ikut andil buka program magang, danai proyek mahasiswa, atau bangun pusat pelatihan energi hijau. Anak muda harus dilatih bukan cuma menghitung, tapi mencipta. Mereka adalah investasi nyata untuk masa depan energi kita.

Pemerintah punya tanggung jawab, tapi jangan tunggu tangan dari atas. Subsidi BBM memang membantu rakyat kecil, tapi juga menahan kita dari transisi penuh ke EBT. Generasi muda harus ambil inisiatif bentuk komunitas, ajak masyarakat hemat energi, atau tekan kebijakan yang lebih hijau. Suara mereka bisa menggema, memaksa pemerintah dan Pertamina bergerak lebih cepat. Waktu habis. Kita harus mulai sekarang.

Dukungan untuk Pertamina harus nyata, bukan slogan. Perusahaan ini adalah aset bangsa yang perlu diperkuat, bukan ditinggalkan. Anak muda bisa usul proyek konkret: misalnya, jaringan microgrid bertenaga surya untuk pulau terpencil atau pompa irigasi bertenaga angin untuk petani.

Baca Juga :  Mendagri Tito Karnavian Tegaskan IKN Belum Resmi Jadi Ibu Kota Negara

Pertamina punya sumber daya dan jaringan, tugas anak muda adalah membawa semangat dan solusi praktis. Bersama, mereka bisa ubah Pertamina jadi pelopor energi modern.

Kesadaran pribadi tak kalah penting. Anak muda harus jadi teladan, matikan lampu yang tak perlu, pasang panel surya di rumah, atau pilih sepeda ketimbang motor. Tindakan kecil ini membuktikan komitmen mereka pada EBT. Pertamina bisa dukung dengan menyediakan teknologi terjangkau, seperti paket surya murah untuk keluarga. Ketika generasi muda bergerak, masyarakat akan ikut, dan perubahan akan menyebar.
Ekonomi adalah daya tarik lain.

Pasar EBT global bernilai triliunan dolar Indonesia bisa ambil bagian besar. Generasi muda bisa bangun startup, seperti membuat baterai dari bahan lokal atau mengekspor turbin angin buatan dalam negeri. Pertamina bisa jadi mitra strategis beri modal awal atau fasilitasi distribusi. Ini bukan cuma soal untung, tapi soal membuktikan bahwa anak muda Indonesia bisa bersaing dengan Silicon Valley atau Shenzhen.

Tantangan tak kecil. Modal sulit didapat, regulasi berbelit, dan pola pikir lama masih menghambat. Tapi, generasi muda punya senjata: kreativitas dan keberanian. Mulai dari diskusi kecil di kampus, buat prototype sederhana, atau ajak temen sebaya. Pertamina bisa bantu dengan membuka pintu bukan menutupnya dengan alasan birokrasi. Satu langkah kecil hari ini bisa jadi lompatan besar besok.

Kolaborasi adalah jalan terbaik. Anak muda harus gandeng petani, nelayan, dan pedagang kecil. EBT harus jadi solusi rakyat, bukan cuma proyek kota besar. Pertamina bisa pimpin dengan bangun pembangkit surya di desa atau kapal listrik untuk nelayan. Generasi muda adalah jembatan yang memastikan energi hijau sampai ke tangan yang membutuhkan. Ini soal keadilan, bukan sekadar teknologi.

Krisis iklim tak bisa ditunda. Jika kita gagal sekarang, anak-anak kita akan mewarisi bumi yang lebih panas dan energi yang lebih mahal. Generasi muda harus bertindak dukung EBT, perkuat Pertamina, dan jadilah agen perubahan. Mereka tak boleh puas jadi pengguna energi; mereka harus jadi penciptanya. Setiap ide, setiap tindakan, adalah batu pijak menuju Indonesia yang lebih hijau.

Jadi, kepada anak muda: ini panggilan untuk kalian. Pertamina adalah kapal besar yang butuh nahkoda muda berpikiran terbuka. Bawa ide, dukung energi hijau, dan jadilah bagian dari solusi. Masa depan energi Indonesia ada di tangan kalian jangan biarkan kesempatan ini lepas. Mulailah hari ini, karena besok mungkin terlambat.

Ini awal baru. Dengan generasi muda yang melek teknologi hijau dan Pertamina yang semakin tangguh, Indonesia bisa jadi teladan dunia. Mari kita wujudkan bersama, kita ubah mimpi jadi kenyataan. Langkah pertama ada pada kalian.

Penulis : Romadhon Jasn (Direktur Gagas Nusantara)